Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia membutuhkan sebuah otoritas Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang independen mengingat tingginya kebutuhan akan perlindungan data di tengah maraknya aksi pencurian data pribadi akhir-akhir ini.
Demikian terungkap dalam diskusi bertajuk “Urgensi RUU Perlindungan Data Pribadi” yang dilaksanakan Biro Pemberitaan DPR di Gedung Parlemen, Selasa (8/6/2021).
Turut menjadi nara sumber pada acara diskusi itu Anggota Komisi I DPR Fraksi Partai Golkar Christina Aryani, Direktur Information and Communication Technology (ICT) Institute, Heru Sutadi serta Ketua Umum Orbital Kesejahteraan Rakyat, Poempida Hidayatulloh.
Menurut Cristina, pembentukan otoritas PDP tersebut mendapat banyak dukungan dari berbagai kalangan karena keberadaan badan itu akan dapat menurunkan angka kejahatan data seperti kejahatan pinjaman online. Sedangkan dari sisi regulasi, dia mengatakan sudah ada contoh seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang independen.
Dia mengaku Indonesia sudah terlambat untuk menghadirkan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi kalau dibandingkan dengan sejumlah negara lain seperti Singapura dan Vietnam. Kendati demikian, dia mengatakan bahwa wacana untuk melahirkan RUU PDP terus bergulir di DPR dengan terbentuknya Panja PDP.
“Kami di DPR terus membahas RUU PDP dengan pemerintah karena memang selama ini banyak kebocoran data, namun kasusnya menguap begitu saja,” katanya. Intinya undang-
undang tersebut jelas mengatur kewajiban kewajiban kepada para pihak dan juga hak pemilik data, kata Christina.
Selain itu dia mengatakan bahwa undang-undang itu harus mampu menerapkan prinsip perlindungan secara komprehensif. Artinya, sistem yang diterapkan oleh para pihak tadi harus bagus, SDM yang mumpuni dan ada yang namanya data protection officer (DPO).
“DPO ini tugasnya untuk memastikan bahwa setiap perusahaan yang mengolah atau mengelola data dalam kesehariannya atau dalam usahanya harus menjalankan prinsip-prinsip tersebut,” katanya.
Sementara itu, Heru Sutadi juga mengakui kalau Indonesia agak terlambat dalam hal perlindungan data. Dia mencontohkan India yang pada 2014 telah menerapkan GDPR sebagimana yang diterapkan di negara-negara Eropa.
“Hingga kini praktik itu banyak ditiru oleh negara lain untuk kemudian diadipsi,” ujarnya.
Dia mengatakan bahwa data adalah new oil atau satu komoditas yang sangat berharga dan menjadi penentu kesejahteraan di masa datang.