Bisnis.com, JAKARTA - Sejarah Provinsi Papua dan Papua Barat tidak bisa dilepaskan dari pembebasan Irian Barat 58 tahun lalu.
Pembebasan Irian Barat menjadi momen penting yang membuat wilayah tersebut akhirnya lepas dari cengkeraman pihak kolonial Belanda.
Sejarah itu antara lain dimulai dengan sebuah peristiwa di Palembang, Sumatera Selatan, 10 April 1962.
Saat itu Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno berjanji segera membebaskan Irian Barat (sekarang Provinsi Papua Barat) dari cengkeraman kolonialisme Belanda. Soekarno menyatakan akan menjadikan Irian Barat sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka.
Dalam pidatonya, yang berjudul Seluruh Rakyat dari Sabang sampai Merauke Bertekad Membebaskan Irian Barat dalam Tahun Ini Juga, Soekarno mengatakan Indonesia terlalu lunak terhadap imperialisme Belanda di Irian Barat.
Ia saat itu berseru bahwa Indonesia tidak akan lagi membiarkan Belanda mengulur-ulur waktu dan bersiap untuk mengerahkan segala upaya demi mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi.
"Kita malahan sudah terlalu lama memberi ampun kepada imperialisme di Irian Barat. Terlalu lama! Sekarang datanglah saat yang kita dalam tahun ini pula, tidak memberi ampun kepada imperialisme di Irian Barat," kata Soekarno.
Saat itu, Soekarno merangkap sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat. Kunjungannya ke Palembang untuk memeriksa kesiapan pembangunan Jembatan Musi.
Upaya mempertahankan kedaulatan Indonesia di Irian Barat berawal setelah Belanda menolak mengakui wilayah itu sebagai bagian dari NKRI dalam perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Delegasi Indonesia dan Belanda memiliki perbedaan pandangan saat KMB berlangsung pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai 2 November 1949. Delegasi Belanda berpendapat bahwa Irian Barat tidak memiliki hubungan dengan wilayah Indonesia yang lain. Pihak Belanda menginginkan daerah itu diberikan status khusus.
Namun, delegasi Indonesia berpendapat bahwa Irian Barat merupakan bagian dari Indonesia Timur yang masuk dalam wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS).
Dalam pertemuan itu, Arsip Nasional Indonesia mencatat dua pihak sepakat untuk menyelesaikan masalah lewat negosiasi lebih lanjut antara Kerajaan Belanda dan RIS, satu tahun setelah penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949.
Akan tetapi, satu tahun setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, perundingan mengenai status Irian Barat tidak menemui titik terang.
Arsip Nasional Republik Indonesia dalam publikasinya berjudul Guide Arsip Perjuangan Pembebasan Irian Barat 1949—1969 mencatat dua pertemuan telah digelar di Jakarta pada Maret 1950 dan di Den Haag pada Desember 1950.
Dua pertemuan itu bertujuan mengumpulkan fakta mengenai Irian Barat, kemudian akan dilaporkan ke Uni Indonesia-Belanda. Namun, dua pihak menyerahkan dua laporan berbeda sehingga upaya itu buntu.
Provinsi Otonomi Irian Barat
Indonesia akhirnya menempuh jalur konfrontasi politik dan ekonomi. Di antaranya Indonesia memutus hubungan Uni Indonesia-Belanda pada 15 Februari 1956. Indonesia juga membatalkan persetujuan KMB secara sepihak pada 27 Maret 1956, serta membentuk Provinsi Otonomi Irian Barat pada 15 Agustus 1956.
Indonesia juga menasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda mulai dari maskapai penerbangan, pelayaran, bank, pabrik gula, hingga perusahaan gas.
Setidaknya, ada sekitar 700 perusahaan Belanda atau campuran modal Belanda-Indonesia yang dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia. Total nilai perusahaan yang dinasionalisasi itu mencapai US$1.500 juta.
Aksi Indonesia itu dibalas dengan penguatan militer Belanda di Irian Barat, salah satunya dengan pengiriman Kapal Induk Karel Doorman ke perairan Indonesia di wilayah timur.
M. Cholil dalam bukunya Sejarah Operasi-Operasi Pembebasan Irian Barat (1979) mencatat pengiriman kapal induk itu menambah ketegangan hubungan diplomatik Indonesia dan Belanda.
Puncaknya, Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Belanda pada 17 Agustus 1960.
Konfrontasi Militer
Setelah putusnya hubungan diplomatik, Soekarno sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia kian gencar mempersiapkan pasukan perang dan menyusun operasi militer untuk mengusir imperialisme Belanda di Irian Barat.
Pemerintah Indonesia pada tahun 1961 mengirim sejumlah anak muda dari berbagai daerah di Papua yang pro-NKRI ke Irian Barat.
Langkah itu, menurut M. Cholil, merupakan balasan atas aksi Belanda yang mengusir kelompok masyarakat pro-NKRI serta mendatangkan warga anti-Indonesia ke Irian Barat selama 1950—1960.
Selama periode itu, Belanda mengerahkan sekitar 10.000 polisi di Irian Barat untuk menghalang-halangi warga setempat atau masyarakat di pulau sekitar yang pro-NKRI datang ke Irian Barat.
Belanda juga menyiapkan armada lautnya, seperti kapal induk Karel Doorman, dua buah kapal perusak, dan dua kapal selam di Laut Karibia.
Indonesia membalas aksi Belanda dengan melakukan kunjungan ke sejumlah negara sahabat dan meminta dukungan dari komunitas internasional.
Menteri Keamanan Nasional Jenderal A.H. Nasution, misalnya, di akhir 1960 melawat ke Uni Soviet, kemudian menandatangani perjanjian pembelian senjata.
Uni Soviet saat itu setuju senjata dibeli dengan kredit jangka panjang sehingga tidak terlalu memberatkan bagi perekonomian Indonesia.
Dari Uni Soviet, Indonesia mendapatkan tidak hanya senjata berat, tetapi juga kapal penjelajah Sverdlov, kemudian diberi nama "KRI Irian" dan pesawat peluncur bom jarak jauh Tupolev-16.
Martin Sitompul dalam artikelnya Ongkos Pembebasan Irian Barat yang terbit di Historia.id pada tahun 2020 menulis Tim Logistik untuk Pembebasan Irian Barat bekerja cepat menyiapkan gudang-gudang peralatan perang di pelosok hutan, peralatan tempur, lapangan udara, bahan bakar, bahkan sampai pabrik roti. Pabrik roti itu sengaja dibuat jadi sumber konsumsi para teknisi dari Uni Soviet.
Tim logistik juga menyiapkan mesin dan alat konstruksi buatan Inggris, serta tangki-tangki terapung untuk mengisi bahan bakar buatan Jerman.
"Penggalangan kekuatan fisik militer berlangsung terus sehingga pada ulang tahun XVI Proklamasi, 17 Agustus 1961, Republik Indonesia merasa kuat dalam konfrontasi dengan Belanda di segala bidang," kata M. Cholil dalam bukunya.
Indonesia, pada pengujung 1961, membentuk Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat (KOTI). Soekarno sebagai panglima tertinggi juga mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang berisi:
- Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda Kolonial
- Kibarkanlah Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia
- Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan bangsa.
Persetujuan New York
Ketegangan antara Indonesia dan Belanda memasuki babak baru setelah Belanda menyerang tiga kapal Indonesia di Laut Arafuru/Aru.
Dalam pertempuran itu, Komodor Yos Sudarso bersama seluruh awak kapalnya gugur setelah memutuskan menjadikan Kapal Komando KRI Macan Tutul sebagai sasaran tembak dua kapal perusak Belanda, yang diduga adalah HRMS Utrecht dan Evertsen.
Yos Sudarso berbuat demikian agar KRI Macan Kumbang dan KRI Harimau, yang saat itu tengah berpatroli bersama KRI Macan Tutul di Laut Aru, punya kesempatan melepaskan diri dari serangan Angkatan Laut Belanda.
Gugurnya awak KRI Macan Tutul di Laut Aru meneguhkan niat Indonesia mempercepat operasi militer di Irian Barat.
Soekarno memerintahkan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat yang dipimpin Brigjen Soeharto selaku Panglima Komando Mandala menjalankan tiga tahapan operasi militer, yaitu penyusupan, serangan terbuka, dan konsolidasi atau menegakkan kekuasaan secara penuh di Irian Barat.
Namun, sebelum pertempuran itu pecah, Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy menunjuk Jaksa Agung Robert F. Kennedy untuk mempertemukan dua pihak.
Rencana untuk berunding itu juga dimotori diplomat AS Ellsworth Bunker. Ujung dari rencana itu adalah terselenggaranya perundingan di New York, yang menghasilkan Persetujuan New York pada 15 Agustus 1962.
Persetujuan itu, yang difasilitasi Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, memerintahkan Belanda menyerahkan pemerintahan di Irian Barat kepada penguasa sementara PBB-Otoritas Eksekutif Sementara PBB (UNTEA) pada 1 Oktober 1962.
Kemudian, UNTEA secara resmi mengembalikan kedaulatan Indonesia di Irian Barat ke pemerintah Indonesia pada 1 Mei 1963.
Syaratnya saat itu Indonesia harus mengadakan referendum atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) sebelum akhir 1969. Pepera kemudian berlangsung pada 14 Juli 1969 di Merauke dan berakhir pada 4 Agustus 1969 di Jayapura.
Hasilnya saat itu Irian Barat tetap jadi bagian dari Indonesia.
Pemerintah Indonesia pun melaporkan hasil Pepera pada Sidang Umum Ke-24 PBB dan seluruh hasilnya diterima dalam sidang umum PBB pada 19 November 1969.
Setelah rangkaian peristiwa itu, pemerintah Indonesia kemudian menetapkan 1 Mei 1963 sebagai Hari Peringatan Pembebasan Irian Barat.
Penetapan tanggal itu dimaksudkan untuk mengingat pengorbanan para patriot yang gugur serta untuk meneguhkan sikap bahwa Papua dan Papua Barat akan selalu tergabung dalam wilayah NKRI.