Bisnis.com, JAKARTA - Nama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto disebut-sebut dalam sidang lanjutan kasus suap izin ekspor benih lobster alias benur dengan terdakwa Mantan Menteri KKP Edhy Prabowo.
Hal tersebut terkuak saat jaksa membeberkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi Ardi Wijaya selaku Manajer Ekspor Impor PT Dua Putera Perkasa Pratama (DPPP) dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (28/4/2021).
BAP itu berisi komunikasi antara Ardi dengan pemilik PT DPPP Suharjito terkait dengan PT Aero Citra Kargo (ACK).
"Ini kami tanyakan karena ada di BAP saudara nomor 27, ini saudara di alinea terakhir mengatakan seperti ini, 'Suharjito kemudian menimpali bahwa PT ACK itu tidak bisa dipecah oleh orang lain atau dipergunakan oleh orang lain karena punya Prabowo khusus'," kata Jaksa saat membacakan BAP Ardi, Rabu (28/4/2021).
Dalam BAP itu disebutkan juga Suharjito, keuntungan PT Aero Citra Kargo mencapai Rp30 miliar per bulan, dengan asumsi ekspor 1 juta sampai 5 juta per ekor per bulan.
"Asalnya menurut Suharjito adalah Rp1.500 x 5 juta ekor, dan kemudian uang itu biasanya cash-cash-an diambil dari pihak KKP, ini saya dapat dari omongan grup Perduli kalau sedang ngobrol'," ungkap jaksa membacakan BAP Ardi.
Baca Juga
Jaksa pun menanyakan siapa Prabowo yang dimaksud tersebut ke Ardi
Ardi pun menjawab bahwa, Prabowo yang dimaksud adalah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Hanya saja, Ardi tidak tahu pasti kebenarannya.
"Kalau yang saya tangkap beliau pasti mengaitkan itu dengan Pak Prabowo. Pak Prabowo Menteri Pertahanan ya setahu saya, Pak Prabowo Subianto. Karena di majalah-majalah sebelumnya itu kan dikaitkan dengan kader atau apa. Tapi saya nggak menanyakan balik, dan memperjelas, Pak Suharjito yang ngomong," kata Ardi.
Sebelumnya, dalam surat dakwaan Jaksa KPK mengungkapkan keuntungan PT Aero Citra Kargo (PT ACK) sebagai satu-satunya perusahaan forwarder benih bening lobster mencapai Rp38 miliar.
Hal tersebut terungkap dalam surat dakwaan Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo.
"Bahwa sejak PT ACK beroperasi pada bulan Juni 2020 sampai dengan bulan November 2020, PT ACK mendapatkan keuntungan bersih sebesar Rp38.518.300.187," kata jaksa saat membacakan surat dakwaan, Kamis (15/4/2021).
Keuntungan Rp38 miliar itu diterima dari pemilik PT DPPP Suharjito dan perusahaan-perusahaan eksportir benih bening lobster lainnya.
Diketahui, PT ACK, disebut jaksa bekerjasama dengann PT Peristhable Logistic Indonesia (PT PLI) terkait ekspor benih lobster. PT PLI yang mengurus seluruh kegiatan ekspor benur, sedangkan PT ACK hanya sebagai perusahaan yang melakukan koordinasi dengan perusahaan eksportir dan menerima keuntungan.
Dalam kerja sama itu, ditetapkan bahwa biaya ekspor benur yakni sebesar Rp1.800 per ekor dengan pembagian PT PLI mendapatkan biaya operasional pengiriman sebesar Rp350 per ekor, sementara PT ACK mendapatkan sebesar Rp1.450 per ekor
Kemudian, jaksa melanjutkan, setiap satu bulan sekali hingga 12 November 2020, para pemegang saham PT ACK dibagikan keuntungan tersebut, seolah-olah sebagai deviden.
Para pemilik saham itu adalah Amri yang merupakan teman dekat Edhy Prabowo, kemudian Yudi Surya Atmaja, dan Achmad Bachtiar.
Amri mendapat total Rp12.312.793.625 yang ditransfer ke Bank BNI. Achmad Bachtiar mendapat Rp12.312.793.625, yang juga ditransfer ke rekening Bank BNI. Terakhir Yudi mendapat Rp5.047.074.000 yang ditransfer melalui rekening BCA.
Amri dan Achmad Bachtiar adalah nominee atau representasi dari Edhy Prabowo di PT ACK. Total uang deviden keduanya yang senilai Rp24.625.587.250 itu dikelola oleh staf Edhy Prabowo bernama Amiril Mukminin.
"Dikelola oleh Amiril Mukminin yang memegang buku tabungan dan kartu ATM milik Achmad Bahtiar Dan Amri atas sepengetahuan Terdakwa (Edhy Prabowo)," kata jaksa.
Adapun, Edhy Prabowo didakwa menerima suap Rp25,7 miliar terkait izin ekspor benih bening lobster (BBL)/benur.
Duit suap itu diberikan guna mempercepat proses persetujuan pemberian izin budidaya lobster dan izin ekspor BBL kepada PT DPPP dan para eksportir BBL lainnya.
Edhy didakwa didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.