Bisnis.com, JAKARTA — Pengajuan pengembangan vaksin Nusantara yang diinisiasi oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto sudah mengalami penolakan sejak awal oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
Pada November 2020, peneliti vaksin Nusantara dilaporkan mengajukan satu protokol untuk semua tahapan uji klinik fase 1 hingga 3. Namun, pengajuan tersebut tidak disetujui oleh BPOM karena tidak sesuai dengan standar harapan pengembangan obat dan vaksin.
"Untuk itu uji klinik vaksin dendritik harus dilaksanakan mulai fase 1 terlebih dahulu sebelum fase 2 dan fase 3," tulis BPOM dalam pointers resmi seperti dikutip Bisnis, Kamis (15/4/2021).
Pada saat pengajuan uji klinik fase 1 dilakukan 30 November 2020, pengembangan vaksin Nusantara tidak disertai dengan data pengujian praklinis.
BPOM pun kemudian meminta peneliti untuk menyerahkan laporan studi toksisitas, imunogenisitas, penggunaan adjuvan, dan studi lain yang mendukung pemilihan dosis dan rute pemberian, mengingat produk jadi mengandung Spike SARS-CoV-2 yang diperoleh terpisah dari sel dendritik.
Namun, permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh peneliti dan sponsor dengan justifikasi penggunaan sel dendritik sudah lama digunakan dan aman pada manusia, bersifat autologous dan tidak menggunakan zat tambahan lain. Dosis dan toksisitas merujuk pada hasil uji klinik untuk indikasi lain.
Baca Juga
Hal tersebut dinilai tidak sesuai karena sel dendritik yang selama ini digunakan adalah untuk terapi kanker, bukan untuk vaksin atau pencegahan penyakit.
Selain itu penggunaan sel dendritik pada vaksin ditambahkan dengan antigen virus (bagian dari virus SARS CoV-2) dan zat tambahan lainnya untuk menjadikan sel dendritik tersebut menjadi vaksin.
Pada 1 Desember 2020, BPOM menerbitkan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinik fase 1. Mempertimbangkan aspek keamanan pada subjek dan tidak tersedianya uji pre klinik, maka pada PPUK ditambahkan ketentuan khusus, di antaranya:
Pertama, sebelum uji klinik dilaksanakan, fasilitas pengolahan produk harus memenuhi persyaratan cara pembuatan obat yang baik (CPOB) atau memiliki penjaminan mutu untuk menghindarkan risiko produk yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan.
Kedua, pada proses informed consent harus dijelaskan kepada calon subjek bahwa uji klinik ini merupakan penelitian first in human dan uji yang sebelumnya dilakukan adalah uji in vitro.
Pada saat pelaksanaan uji klinik, peneliti diminta untuk memastikan jaminan mutu dan keamanan produk uji dengan melakukan pengujian untuk setiap produk yang akan digunakan sesuai dengan spesifikasi produk yang telah ditetapkan, yakni sterilitas, mycoplasma, endotoksin, jumlah sel dan viabilitas dan identifikasi.
Kemudian, peneliti vaksin Nusantara diminta melakukan rekrutmen untuk setiap tiga subjek, dimulai dari konsentrasi Spike
SARS-CoV-2 terkecil (0,1 mcg) tanpa GM-CSF dilanjutkan dengan peningkatan konsentrasi GM-CSF pada konsentrasi Spike SARS-CoV-2 yang sama.
Selanjutnya, dilakukan prosedur yang sama untuk konsentrasi Spike SARS-CoV-2 yang lebih besar.
Setelah itu, peneliti diminta memastikan peran Data Safety Monitoring Board (DSMB) yang berkesinambungan dan inpenden, dengan perhatian khusus untuk melakukan analisis interim untuk setiap 3 subjek yang diinklusi.
Dimulai dari konsentrasi Spike SARS-CoV-2 terkecil (0,1 mcg) tanpa GM-CSF dilanjutkan dengan peningkatan konsentrasi GM-CSF pada konsentrasi Spike SARS-CoV-2 yang sama.
Selanjutnya, dilakukan prosedur yang sama untuk konsentrasi Spike SARS-CoV-2 yang lebih besar.
Adapun, ketentuan pada PPUK tidak dilaksanakan dengan baik oleh peneliti. Hal ini diketahui pada saat inspeksi di mana fasilitas pengolahan belum memenuhi persyaratan CPOB, pelaksanaan uji klinik tidak dilakukan bertahap pada tiga subjek, tidak ada review DSMB untuk pelaksanaan uji klinik fase 1, pengujian mutu tidak dilakukan untuk setiap produk.