Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bela Din Syamsuddin, Menag: Kritis dan Radikal itu Beda

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas meminta semua pihak untuk tidak mudah memberikan label radikal kepada seseorang atau kelompok.
Din Syamsuddin, inisiator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) saat konferensi pers secara daring, Sabtu (15/8/2020)./Antara-HO-Tangkapan layar Zoom
Din Syamsuddin, inisiator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) saat konferensi pers secara daring, Sabtu (15/8/2020)./Antara-HO-Tangkapan layar Zoom

Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menanggapi tudingan terhadap tokoh Muhammadiyah Din Syamsuddin yang disebut radikal oleh Gerakan Anti Radikalisme Alumni (GAR-ITB).

Pernyataan Menag disampaikan menanggapi pelaporan Gerakan Anti Radikalisme Alumni (GAR-ITB) terhadap Din Syamsuddin. Ormas itu menyebutkan bahwa tokoh Muhammadiyah itu merupakan seorang radikalis.

“Saya tidak setuju jika seseorang langsung dikatakan radikal. Kritis beda dengan radikal. Berpolitik memang bisa jadi pelanggaran seorang ASN. Namun soal lontaran kritik sah-sah saja sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Jokowi bahwa kritik itu tidak dilarang,” kata Menag dalam keterangan resmi di Jakarta, Sabtu (13/2/2021).

Menag Yaqut menegaskan, terkait dugaan pelanggaran Din Syamsuddin yang statusnya masih sebagai dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah ada regulasi yang mengatur. Prosedur penyelidikan pun telah diatur secara komprehensif oleh negara, antara lain melalui inspektorat maupun KASN.

Dengan dasar tersebut, Menag Yaqut berharap semua pihak untuk mendudukkan persolan ini dengan proporsional. “Persoalan disiplin, kode etik dan kode perilaku ASN sudah ada ranahnya. Namun, jangan sampai kita secara mudah melabeli Pak Din radikal dan sebagainya,” tegasnya.

Dia meminta semua pihak untuk tidak mudah memberikan label radikal kepada seseorang atau kelompok. Penyematan predikat negatif tanpa dukungan data dan fakta yang memadai berpotensi merugikan pihak lain.

“Kita harus seobjektif mungkin dalam melihat persoalan, jangan sampai gegabah menilai seseorang radikal misalnya,” ujar.

Menurutnya, stigma atau cap negatif seringkali muncul karena terjadinya sumbatan komunikasi. Oleh karena itu, dia menilai pola komunikasi yang cair dan dua arah adalah sebuah keniscayaan, lebih-lebih di era keterbukaan informasi seperti saat ini.

Apalagi, stigma radikal juga bisa jadi muncul karena seseorang kurang memiliki informasi dan data yang memadai terhadap sikap atau perilaku orang lain.

“Dengan asumsi itu, maka klarifikasi atau tabayyun adalah menjadi hal yang tak boleh ditinggalkan dalam kerangka mendapat informasi valid,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Rayful Mudassir
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper