Cari berita
Bisnis.com

Konten Premium

Bisnis Plus bisnismuda Koran Bisnis Indonesia tokotbisnis Epaper Bisnis Indonesia Konten Interaktif Bisnis Indonesia Group Bisnis Grafik bisnis tv

Bela Din Syamsuddin, Menag: Kritis dan Radikal itu Beda

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas meminta semua pihak untuk tidak mudah memberikan label radikal kepada seseorang atau kelompok.
Rayful Mudassir
Rayful Mudassir - Bisnis.com 13 Februari 2021  |  20:29 WIB
Bela Din Syamsuddin, Menag: Kritis dan Radikal itu Beda
Din Syamsuddin, inisiator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) saat konferensi pers secara daring, Sabtu (15/8/2020). - Antara/HO/Tangkapan layar Zoom

Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menanggapi tudingan terhadap tokoh Muhammadiyah Din Syamsuddin yang disebut radikal oleh Gerakan Anti Radikalisme Alumni (GAR-ITB).

Pernyataan Menag disampaikan menanggapi pelaporan Gerakan Anti Radikalisme Alumni (GAR-ITB) terhadap Din Syamsuddin. Ormas itu menyebutkan bahwa tokoh Muhammadiyah itu merupakan seorang radikalis.

“Saya tidak setuju jika seseorang langsung dikatakan radikal. Kritis beda dengan radikal. Berpolitik memang bisa jadi pelanggaran seorang ASN. Namun soal lontaran kritik sah-sah saja sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Jokowi bahwa kritik itu tidak dilarang,” kata Menag dalam keterangan resmi di Jakarta, Sabtu (13/2/2021).

Menag Yaqut menegaskan, terkait dugaan pelanggaran Din Syamsuddin yang statusnya masih sebagai dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah ada regulasi yang mengatur. Prosedur penyelidikan pun telah diatur secara komprehensif oleh negara, antara lain melalui inspektorat maupun KASN.

Dengan dasar tersebut, Menag Yaqut berharap semua pihak untuk mendudukkan persolan ini dengan proporsional. “Persoalan disiplin, kode etik dan kode perilaku ASN sudah ada ranahnya. Namun, jangan sampai kita secara mudah melabeli Pak Din radikal dan sebagainya,” tegasnya.

Dia meminta semua pihak untuk tidak mudah memberikan label radikal kepada seseorang atau kelompok. Penyematan predikat negatif tanpa dukungan data dan fakta yang memadai berpotensi merugikan pihak lain.

“Kita harus seobjektif mungkin dalam melihat persoalan, jangan sampai gegabah menilai seseorang radikal misalnya,” ujar.

Menurutnya, stigma atau cap negatif seringkali muncul karena terjadinya sumbatan komunikasi. Oleh karena itu, dia menilai pola komunikasi yang cair dan dua arah adalah sebuah keniscayaan, lebih-lebih di era keterbukaan informasi seperti saat ini.

Apalagi, stigma radikal juga bisa jadi muncul karena seseorang kurang memiliki informasi dan data yang memadai terhadap sikap atau perilaku orang lain.

“Dengan asumsi itu, maka klarifikasi atau tabayyun adalah menjadi hal yang tak boleh ditinggalkan dalam kerangka mendapat informasi valid,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Simak berita lainnya seputar topik artikel ini, di sini :

din syamsuddin menag radikalisme Yaqut Cholil Qoumas
Editor : Fitri Sartina Dewi

Artikel Terkait



Berita Lainnya

    Berita Terkini

    back to top To top