Bisnis.com, JAKARTA - Pendiri dan Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal mengatakan, sangat prihatin dengan kondisi politik Myanmar yang semakin merosot.
Pada keterangan tertulisnya, Selasa (2/2/2021), Dino meyebut, bahwa penahanan Aung San Suu Kyi beserta sejumlah tokoh politik pascapemilihan umum (pemilu) bulan November 2020 merupakan sebuah langkah mundur dari proses konsolidasi demokrasi Myanmar yang dalam beberapa tahun terakhir terus diwarnai berbagai tantangan.
Dikatakan, pengambilalihan kekuasaan oleh militer dan penerapan darurat nasional selama satu tahun adalah tindakan yang tidak memiliki dasar hukum, politik, dan moral yang kredibel. Aksi itu, hanya akan menambah preseden buruk bagi proses nation-building Myanmar.
“Kami menyadari bahwa banyak pemilu di dunia yang tidak sempurna dan bermasalah – yang dibebani suasana kecurigaan, kesalahan, dan saling tuding. Namun, dalam kehidupan demokrasi tidak boleh ada sengketa pemilu yang diselesaikan melalui intervensi militer dalam bentuk apapun. Penyelesaian sengketa hanya dapat dilakukan oleh komisi pemilihan umum atau suatu mahkamah konstitusi. Militer Myanmar tidak boleh menjadi hakim ataupun penentu dalam pemilu. Proses pembangunan demokrasi di Myanmar justru memerlukan pihak militer untuk meninggalkan politik praktis, bukannya semakin memperkuat cengkeraman politiknya,” papar Dino.
Dikatakan, bahwa Indonesia, seperti Myanmar, juga pernah mengalami berbagai tantangan berat pada awal masa transisi demokrasi — krisis moneter, separatisme, institusi yang masih lemah, instabilitas politik, konflik sosial, terorisme.
“Namun, kami di Indonesia tidak pernah kehilangan keyakinan pada demokrasi dan tidak pernah berupaya balik arah. Militer Indonesia juga dengan pasti meninggalkan pentas politik secara permanen dan total, berubah menjadi militer profesional yang tunduk pada pemerintahan sipil dan bahkan menjadi pelindung demokrasi,” tukas Dino.
Baca Juga
Sayangnya, di Myanmar pascapemilu tahun 2015, militer terus mempertahankan peran politiknya dalam sistem politik yang rapuh, sehingga melemahkan pertumbuhan demokrasi Myanmar.
FPCI mengimbau kepada pimpinan militer Myanmar untuk membebaskan tanpa syarat Aung San Suu Kyi dan juga kolega-kolega politiknya yang kini ditahan, serta tahanan politik lainnya, dan menjamin kebebasan mereka untuk terus berkiprah dalam proses politik Myanmar.
Aung San Suu Kyi dan partai National League for Democracy (NLD), yang mewakili sebagian besar rakyat Myanmar, harus ikut dilibatkan oleh pihak militer dalam proses konsultasi untuk menangani krisis demokrasi ini.
“Solusi sepihak atau solusi yang tidak inklusif tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah politik yang mendasar di Myanmar.”
Apabila pimpinan militer Myanmar, seperti yang mereka nyatakan, akan melaksanakan "pemilu ulang", pemilu tersebut harus diselenggarakan oleh suatu badan yang independen, dan dilaksanakan dalam suasana kebebasan berpendapat, dengan peraturan yang adil dan bebas dari penindasan, dan terbuka bagi peninjau internasional, khususnya dari Asean, untuk mengawasi jalannya pemilu.
Hasil pemilu di Myanmar harus ditentukan sesuai aspirasi rakyat dan tidak dirancang oleh elite politik manapun.
FPCI adalah perkumpulan hubungan internasional terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara.