Bisnis.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad meminta pemerintah untuk melakukan sosialisasi secara menyeluruh terkait implementasi Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024.
Menurut Dasco hal itu perlu dilakukan agar perpres tersebut tidak menimbulkan polemik di tengah masyarakat.
"Jadi perpres itu kan kemudian membahas banyak hal dan melibatkan banyak tokoh agama akademisi penegak hukum dan banyak tokoh yang dilibatkan dalam hal tersebut kami imbau kepada pemerintah lakukan sosialisasi lebih luas sehingga tidak membuat polemik perdebatan yang tidak perlu," kata Dasco, Kamis (21/1/2021).
Dasco mengatakan DPR RI lewat Komisi I bakal melakukan pengawasan terkait implementasi dari beleid baru ini. "Nantinya dalam implementasinya DPR lewat komisi I akan ikut melakukan pengawasan supaya dalam implementasi berjalan dengan baik," ucapnya.
Diketahui, terbitnya Perpresi Ektremisme menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Partai Keadilan Sejahtera misalnya menilai mempertanyakan motif pemerintah mengeluarkan beleid tersebut.
Kemudian, Setara Institute menilai isi Perpres tersebut memang memiliki rencana-rencana yang terpadu. Namun, Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengingatkan, muatan partisipasi masyarakat ini tidak boleh menimbulkan pembenaran persekusi oleh kelompok masyarakat.
Dia menyatakan pemerintah masih harus memastikan ada batasan konsep partisipasi, sehingga tidak menimbulkan masalah dalam penegakan hukum.
Sebelumnya, Pemerintah berharap masyarakat mendukung terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 (RAN PE).
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyatakan bahwa salah satu poin penting pemerintah dalam Perpres ini adalah pelibatan masyarakat sipil dalam mengatasi persoalan radikalisme dan terorisme.
Moeldoko menyebut, rasionalisasi terbitnya aturan ini karena tidak berimbangnya rasio jumlah penduduk dengan jumlah polisi.
"Jumlah polisi kita itu sekitar 470.000, jumlah penduduk kita sekitar anggap lah 270 juta. Jadi kalau dihitung satu polisi itu harus mengelola kurang lebih 500 masyarakat. Padahal di Jepang itu hanya 1:50," kata Moeldoko, Rabu (20/1/2021).