Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Memahami Kritik Ribka Tjiptaning Soal Vaksinasi

Pelayanan kesehatan adalah amanat konstitusi. Keberadaan masyarakat yang tidak mendapatkan pelayanan kesehatan bukan saja diskriminasi tetapi juga pelanggaran terhadap konstitusi.
Ribka Tjiptaning Proletariati. /jakpro
Ribka Tjiptaning Proletariati. /jakpro

Bisnis.com, JAKARTA - Sosok Ribka Tijiptaning atau 'Mbak Ning' memang sering mendapat sorotan. Mulai dari latar belakang keluarganya sampai tindak-tanduknya dalam berpolitik. Termasuk, kejadian dua hari lalu, ketika dia mengkritik habis program vaksinasi pemerintah.

Sejatinya kritik adalah suatu hal yang wajar. Apalagi, kalau melihat posisinya sebagai anggota DPR. Namun karena, Ribka berasal dari partai penguasa, kritik yang dia lontarkan kemudian 'dianggap' menyerang 'tuannya sendiri'.

Padahal, orang seharusnya mafhum, dalam sistem demokrasi presidensial, legislatif adalah oposisi eksekutif. Kritik adalah pekerjaan anggota DPR. Jadi setiap anggota DPR sekalipun berasal dari the ruling party atau partai penguasa, mengkritisi kebijakan pemerintah adalah wajib hukumnya.

Apalagi, tanggung jawab yang diberikan kepada anggota DPR, sekalipun mereka memiliki afiliasi politik, adalah kepada konstituennya bukan ke partai politik atau penguasa (eksekutif). DPR adalah wakil rakyat. Bukan wakil partai atau penguasa. Demokrasi telah menempatkan rakyat sebagai tuan. Vox populi vox dei, kalau kata orang bilang.  

Sementara eksekutif, ya mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan rakyat, melayani rakyat, bukan melayani partai apalagi untuk kepentingan oligarki dan pribadi. 

Oleh karena itu, dalam konteks ini, tindakan atau kritik yang dilontarkan Ribka Tjiptaning, sebenarnya masih dalam koridor sebagai wakil rakyat. Dia hanya ingin memastikan vaksin Sinovac, yang tingkat efikasinya 65,3 persen, itu benar-benar aman bagi rakyat. Meskipun, bahasa yang digunakan agak sedikit 'keras'. Tetapi itulah kritik.

Bagi demokrasi, mengutip kalimat Fahri Hamzah, kritik adalah vitamin. Pemerintah atau partai penguasa, seharusnya tak perlu alergi dengan kritik yang dilontarkan oleh orang-orang terdekatnya, toch selama untuk kepentingan rakyat, kenapa tidak? 

Pemerintah juga tak perlu khawatir, kritik itu akan menggagalkan program vaksinasi, karena faktanya hampir sebagian besar penduduk Indonesia sepakat vaksinasi adalah hal yang penting. Bagi rakyat, ketidakpastian ini berakhir. Kehidupan harus berangsur normal. Rakyat juga sudah bosan dengan pandemi. 

Kritik itu hanya ingin menguji sejauh mana efikasi serta jaminan dan keamanan vaksin yanag akan disuntikkan ke manusia Indonesia. Sebab, keselamatan seluruh rakyat Indonesia adalah nomor satu. Jangan sampai karena ngebet memulihkan ekonomi, rakyat menjadi kelinci percobaan.

Di sisi lain, kalaupun nanti vaksin dinyatakan aman dan terbukti kemanjurannya, prinsip keadilan juga harus diperhartikan. Akses 'wong cilik' terhadap vaksin harus terbuka lebar. Jangan sampai tangan-tangan gelap kembali bermain, seperti kasus bansos, mengkapitalisasi 'kondisi darurat' untuk kepentingan segelintir orang atau pribadi.

"Negara tak boleh berbisnis dengan rakyatnya," kata Ribka mengingatkan.

Sikap keras Ribka, memang terbukti menuai polemik. Hal ini terjadi, karena orang enggak biasa dengan kritik pedas. Konon katanya dia sampai ditegur langsung oleh Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto.

Tetapi terlepas bagaimana nanti nasibnya dengan PDIP, sikapnya Ribka jelas memiliki dasar. Indonesia pernah memiliki pengalaman buruk soal vaksin. Belum lagi, sektor kesehatan juga sudah terlalu lama dikapitalisasi, jadi ladang keuntungan bagi pelaku industri kesehatan.

Herannya, pemerintah juga terkesan membiarkan hal itu. Praktik kongkalikong masih saja terjadi. Bahkan selama pandemi, praktik itu masih berlangsung. 

Mau bukti? Tengok saja siapa importir yang memiliki rekomendasi importasi barang atau alat penanganan Covid-19, sebagian besar atau lebih dari 70 persen adalah swasta. Ada perusahaan jasa keamanan adapula perusahaan kosmetik. Sementara pemerintah? Jumlahnya sangat kecil.

Kapitalisasi sektor kesehatan itu tentu berimbas makin sempitnya akses masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. Biaya kesehatan makin mahal.

Sementara, jaminan kesehatan nasional  (JKN) juga tak sepenuhnya bisa diandalkan. Belum lagi tarif JKN yang naik saat jutaan rakyat Indonesia kena pemutusan hubungan kerja (PHK). Makin mencekik rakyat enggak tuh? 

Padahal konstitusi, pahami maksud pasal 28 huruf H UUD 1945, sudah sangat jelas bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Semestinya, karena itu amanat konstitusi, pemerintah perlu mengoptimalkan pelayanan kesehatannya kepada masyarakat. Mbok ya jangan itung-itungan sama rakyat.

Alasan defisit BPJS Kesehatan, jangan dijadikan dalih untuk memeras rakyat yang masih kelimpungan karena pandemi. Sikap pemerintah seharusnya sama ketika memberikan 'subsidi' kepada pengusaha, loss dol tidak hitung-hitungan, meski kredibilitas APBN jadi taruhannya.

Tapi kalau dengan rakyatnya sendiri saja masih memikirkan untung dan rugi, rakyat kemudian tidak memperoleh akses ke fasilitas kesehatan secara layak, bahkan ditolak dari rumah sakit, itu bukan hanya diskriminatif, tetapi juga melanggar konstitusi? Mau dicap sebagai pelanggar konstitusi?


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper