Bisnis.com, JAKARTA — Polri kembali digugat praperadilan oleh satu dari empat anggota laskar FPI yang diduga menjadi korban pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh oknum anggota Polri di Jalan Tol Jakarta-Cikampek KM 50.
Gugatan praperadilan itu dilayangkan oleh pihak keluarga almarhum Muhammad Suci Khadavi Putra yang diduga menjadi korban pelanggaran HAM berat oleh oknum anggota Polri ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Penasihat hukum korban, Kurniawan Adi Nugroho mengatakan gugatan praperadilan itu dilayangkan karena pihak keluarga menilai penyitaan barang-barang pribadi oleh Kepolisian tidak sah secara hukum.
Pasalnya, menurut Kurniawan, oknum anggota Polri yang menyita barang pribadi korban tidak pernah menunjukkan surat penyitaan dari pihak Pengadilan Negeri setempat sesuai Pasal 38 KUHAP.
"Kami sudah daftarkan gugatan praperadilan itu sejak Desember 2020 ke PN Jaksel terkait soal penyitaan barang pribadi korban. Sebagaimana diketahui bahwa penyitaan itu harus sesuai izin dari pengadilan, sementara pihak korban maupun keluarga tidak ada yang menerima surat itu," tutur Kurniawan kepada Bisnis, Senin (11/1/2021).
Kurniawan menjelaskan bahwa korban atas nama Khadavi yang saat itu bertugas sebagai sopir telah ditembak mati oknum anggota Polri, selanjutnya semua barang pribadi milik korban seperti ponsel pintar, baju, identitas, dompet beserta sejumlah uang langsung disita oleh Kepolisian tanpa ada izin dari Pengadilan Negeri setempat.
"Semua barang pribadi korban itu disita dan belum dikembalikan kepada pihak keluarga. Ini yang mau kita gugat praperadilan," katanya.
Dalam perkembangan berbeda, Pakar hukum dari Universitas Indonesia Prof. Indriyanto Seno Adji menyebut bahwa tidak ada pembunuhan di luar hukum (unlawful killing) dalam kasus kematian enam laskar FPI di Tol Jakarta-Cikampek.
Indriyanto melalui siaran pers, Jakarta, Sabtu (9/1/2021) mengatakan hal itu merujuk pada temuan Komnas HAM dalam investigasinya yang menyatakan bahwa serangan terlebih dahulu dilakukan oleh anggota FPI.
"Ada satu catatan penting rekomendasi Komnas HAM terkait kematian Laskar FPI yaitu serangan terlebih dahulu dilakukan oleh anggota FPI terhadap penegak hukum. Sehingga dalam hal ini artinya adalah tidak ada yang dinamakan 'unlawful killing'," kata Indriyanto.
Indriyanto mengatakan keputusan aparat Kepolisian saat menjalankan tugasnya dalam peristiwa ini adalah bentuk pembelaan yang terpaksa karena ada upaya ancaman keselamatan jiwa aparat penegak hukum.
Selain itu menurut dia, dalam temuan investigasi Komnas HAM juga ada fakta bahwa terjadi baku tembak antara Laskar FPI dan polisi. Oleh karena itu, menurut dia, aparat harus menelisik kepemilikan senjata api dari anggota FPI tersebut.
Pada Jumat, Komnas HAM mengumumkan hasil investigasinya mengenai kasus kematian enam orang Laskar Front Pembela Islam (FPI) di Tol Jakarta-Cikampek KM 50.
Berdasarkan investigasi tersebut, Komnas HAM menyimpulkan sebanyak dua anggota FPI meninggal dunia dalam peristiwa saling serempet antara mobil yang mereka gunakan dengan polisi hingga terjadi kontak tembak di antara Jalan Internasional Karawang sampai KM 49 Tol Cikampek.
Sedangkan empat orang lainnya masih hidup dan dalam penguasaan polisi, kemudian diduga ditembak mati di dalam mobil petugas saat dalam perjalanan dari KM 50 Tol Japek menuju Markas Polda Metro Jaya.
Komnas HAM menduga bahwa terdapat pelanggaran HAM atas tewasnya empat Laskar FPI yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Untuk itu, Komnas HAM merekomendasikan agar para pelaku dilakukan proses hukum melalui mekanisme pengadilan pidana.
Sebelumnya, berdasarkan keterangan polisi, terjadi peristiwa penyerangan Laskar FPI terhadap aparat kepolisian di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek pada Senin 7 Desember 2020 pukul 00.30 WIB.