Bisnis.com, JAKARTA - Anggota Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta berharap kewenangan nonyudisial bisa dialihkan dari Mahkamah Agung (MA) ke KY.
Sukma menyinggung posisi KY saat ini masih membingungkan. Posisinya pengawasan seperti di negara penganut sistem hukum anglo saxon, tapi sistem hukum yang dianut civil law.
"Harusnya sistem satu atap itu transisi sifatnya. Wewenang nonyudisial sejatinya beralih ke KY. Tapi UU paket kekuasaan kehakiman tetap mempertahankan satu atap, dan didukung UUD 1945. Basisnya apa sehingga pengaturan kehakiman kita hanya mengarah pada sistem satu atap,” ungkap Sukma dikutip dari laman resmi KY, Jumat (1/1/2021).
Sukma mengatakan bahwa lahirnya sistem satu atap karena pada masa lalu, intervensi luar terhadap pengadilan besar, maka itu harus dilindungi. Kemudian waktu itu ada inkonsisitensi dengan sistem hukum Indonesia sendiri. Misalnya kewenangan rekrutmen hakim tidak dimiliki oleh Mahkamah Agung (MA), tapi pemerintah.
Akhirnya semua kewenangan dikembalikan ke MA sebagai sistem satu atap. Tidak hanya bidang yudisial. Pada tahun 1999 kewenangan nonyudisial diberikan kepada MA, berbeda dengan negara-negara lain.
Sedangkan KY hanya pengawasan dan Calon hakim agung (CHA). Kewenangan tersebar secara acak. Hal ini tentunya akan berpengaruh ke bagian yang lain. Misalnya terkait promosi, MA sudah lebih baik. Ada fit and proper test untuk calon KPN, hakim PT, dan KPT. Tapi masih ada ganjalan di aspek integritas.
Di KY, aspek integritas ditemukan di banyak kegiatan, termasuk laporan masyarakat. Perlu ada kejelasan sistem promosi, untuk menjamin seleksi CHA mempunyai calon yang kesempatan lulusnya besar.
“Semoga diberikan peluang oleh DPR untuk diberikan wadah kepada KY terkait promosi hakim. Untuk menjamin seleksi CHA yang memenuhi kebutuhan MA. Selama ini KY tidak bisa memenuhi permintaan MA, karena selama ini yang memiliki syarat integritas masih kurang,” ungkap Sukma.