Bisnis.com, JAKARTA – Singapura baru-baru ini mendeteksi satu kasus dengan strain Covid-19 yang diduga lebih menular. Virus tersebut pertama ditemukan di Inggris, dan artinya hampir seluruh dunia harus lebih memperketat pembatasan sosial.
Kementerian Kesehatan Singapura telah melakukan tes lebih lanjut pada kasus Covid-19 dari Eropa yang telah tiba di Singapura itu, selama sebulan hingga 17 Desember. Hasilnya menunjukkan bahwa seorang perempuan warga negara Singapura berusia 17 tahun terdeteksi memiliki strain B117, dan 11 lainnya pada awalnya positif mengidap Covid-19.
Perempuan tersebut awalnya tengah melakukan studi di Inggris dan tiba di Singapura pada 6 Desember. Dia dipastikan terinfeksi pada 8 Desember dan kasusnya dimasukkan dalam hitungan kasus pada hari tersebut.
“Lantaran dia diisolasi saat tiba di Singapura, kami bisa menjaga kasus ini agar tak terjadi penularan lebih lanjut dari pasien tersebut. Hingga saat ini belum ada bukti terbaru bahwa B117 sudah beredar di masyarakat,” tulis Kementerian Kesehatan Singapura, dilansir Bloomberg, Kamis (24/12/2020).
Keberadaan virus Covid-19 yang lebih menular tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Singapura, yang selama ini dinilai sukses menahan laju perkembangan virus di masyarakat.
Singapura juga telah menerapkan pembatasan ketat di perbatasan dan menghentikan pengunjung dari Inggris, termasuk bagi mereka yang hanya ingin masuk atau transit dari Inggris selama 14 hari.
Baca Juga
Sementara itu, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson juga telah menerapkan regulasi yang lebih ketat di seluruh Inggris untuk membatasi penyebaran mutasi virus Covid-19, agar penularannya tidak semakin cepat di seluruh negeri.
Kondisi Indonesia
Kemunculan galur baru Covid-19 yang belakangan dikenal sebagai supercovid bisa memperpanjang kecemasan akibat ketidakpastian kapan virus ini bisa dilumpuhkan.
Seperti diketahui, varian baru virus Corona Covid-19 tersebut ditemukan di Inggris dengan tingkat penularan yang cukup tinggi. Bahkan Perdana Menteri Boris Johnson mengatakan varian baru 70 persen lebih menular daripada varian lainnya sehingga dilabeli media setempat sebagai supercovid.
Menanggapi varian baru virus Corona itu, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam mengatakan varian itu belum ditemukan di Indonesia. Pada prinsipnya, kata dia, data virus tersebut diambil dari pemeriksaan next generating sequencing.
“Terus terang kami belum menemukan di Indonesia...dan belum melakukan pemeriksaan itu,” ujar dia kepada Tempo melalui sambungan telepon, Rabu (23/12/2020).
Guru besar bidang ilmu penyakit dalam itu menegaskan kuncinya adalah pemerintah harus melakukan pembatasan ketat.
“Jadi orang dari Inggris tidak bisa masuk. Bukan peringatan travel warning lagi tapi larangan travel ban,” kata Ari.
Menurut Ari berdasarkan hasil dari analisa yang ada, virus mutan di Inggris itu mempunyai tingkat infeksi yang tinggi. Tapi, menurut dia, masih perlu dibuktikan bagaimana karakter virusnya.
“Tapi saya dengar juga varian virus Corona itu masih bisa ditangani dengan vaksin yang ada,” kata Ari menambahkan.
Dihubungi terpisah, Guru Besar Biologi Molekuler dari Universitas Airlangga, Chairul Anwar Nidom, mengaku sedang melakukan penelusuran mengenai varian baru virus Corona itu. Dia dan timnya masih mencari tahu asal virus apakah dari virus corona yang sudah ada atau muncul baru.
“Karena kalau dari Covid-19 yang selama ini, ada kemungkinan ini akibat dari reaksi virus terhadap vaksinasi tapi ini masih hipotesis. Tolong tunggu beberapa hari,” ujar Direktur Professor Nidom Foundation (PNF) itu melalui pesan WhatsApp, Rabu.
Lantas apa yang harus dilakukan masyarakat dalam situasi seperti ini?
Penting untuk digarisbawahi apa yang dinyatakan Psikiater dan Kepala Instalasi Rehabilitasi Psikososial RS.dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor dr.Lahargo Kembaren, SpKJ terkait kecemasan.
Sebetulnya, menurut Lahargo, rasa cemas adalah reaksi emosi yang wajar. Hal itu muncul akibat suatu keadaan tidak diharapkan yang diasumsikan dapat menimbulkan bahaya.
“Rasa cemas akan memberikan respons pada tubuh untuk cepat melakukan perlindungan untuk memastikan keamanan. Reaksi emosi cemas ini positif dan baik apabila dirasakan dan direspons sewajarnya,” ujar Lahargo.
Tetapi apabila respons yang muncul berlebihan atau reaktif akan menyebabkan gangguan cemas atau ansietas.
Lahargo menyebut ada dua sikap mental yang bisa terjadi terkait kondisi yang menimbulkan kecemasan, yaitu reaktif atau responsif.
Reaktif adalah sikap mental yang ditandai dengan reaksi yang cepat, tegang, agresif terhadap keadaan yang terjadi dan menyebabkan kecemasan, kepanikan.
Responsif adalah sikap mental yang ditandai dengan sikap tenang, terukur, mencari tahu apa yang harus dilakukan dan memberikan respons yang tepat dan wajar.
Lantas mana yang akan kita pilih?
“Ketika seseorang lebih memilih REAKTIF daripada RESPONSIF, maka kehidupan mentalnya akan terpengaruh dan dapat berujung pada Gangguan Cemas (ansietas),” tulis Lahargo.
Selengkapnya, silakan baca: Kecemasan Lebih Cepat Menular Dibandingkan Covid-19, Pilih Reaktif atau Responsif?
Di luar itu, kita tetap harus disiplin menerapkan protokol kesehatan dengan menjalankan 3M, yakni memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan pakai sabun.
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #jagajarakhindarikerumunan #cucitangan #cucitangandengansabun