snis.com, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR Fadli Zon menilai penerbitan calling visa bagi Israel merupakan penyelundupan kebijakan politik luar negeri Indonesia.
Politisi Partai Gerindra itu meminta Menteri Hukim dan HAM Yasonna Laoly dan Ditjen Imigrasi memberikan penjelasan terbuka terkait kebijakan tersebut. Sebab, kebijakan semacam ini bisa dianggap sebagai pengkhianatan terhadap konstitusi.
"Meskipun kalau merujuk kepada negara lain praktik pemberian calling visa bisa diberikan untuk negara-negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik, namun mengingat sejarah politik kita, isu mengenai Israel ini seharusnya diperlakukan dengan sensitivitas tinggi," tulis Fadli Zon yang dikutip, Selasa (1/12/2020).
Fadli menjelaskan bahwa selama 75 tahun Indonesia memiliki komitmen untuk mendukung kemerdekaan Palestina. Sebagai bentuk dukungan, sekaligus sejalan dengan semangat Proklamasi dan Pembukaan UUD 1945 yang anti-kolonialisme serta imperialisme, sejak 75 tahun lalu pemerintah tak pernah membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Artinya, bagi Indonesia, tidak adanya hubungan diplomatik dengan Israel ini bukan hanya soal administratif belaka, tetapi merupakan persoalan ideologis, historis, dan politis sekaligus. Ini sangat fundamental.
"Itu sudah menjadi garis politik luar negeri kita," tegasnya.
Adapun calling visa merupakan layanan visa yang dikhususkan untuk warga dari negara- negara yang keadaan negaranya dinilai memiliki tingkat kerawanan tertentu.
Seperti diketahui, pemerintah melalui Ditjen Imigrasi Kemenkumham mulai membuka pelayanan visa elektronik (eVisa) bagi orang asing subyek Calling Visa.
Pemerintah beralasan dibukanya kembali pelayanan calling visa ialah karena banyaknya tenaga ahli dan investor yang berasal dari negara-negara calling visa. Selain itu juga untuk mengakomodasi hak-hak kemanusiaan para pasangan kawin campur.
Adapun penerbitan calling visa diberikan kepada 8 negara di antaramya Afghanistan, Guinea, Israel, Korea Utara, Kamerun, Liberia, Nigeria, dan Somalia.