Bisnis.com, JAKARTA - Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya angkat bicara terkait dengan penghapusan Pasal 46 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi di naskah final UU Omnibus Law Cipta Kerja.
"Pasal 46 itu ayat 1-4 itu kan persis sama dengan UU Migas. Jadi memang seharusnya dihapus biar pengaturannya enggak dobel, karena UU Migas kan enggak diubah," ujar Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Supratman Andi Agtas pada Jumat (23/10/2020).
Pasal 46 UU Migas sebelumnya tercantum dalam naskah omnibus law setebal 812 halaman yang dikirimkan DPR kepada Presiden Joko Widodo.
Pasal 46 ini sebelumnya telah ditolak dalam rapat Panja DPR karena ada usul dari pemerintah untuk menambah ayat (5) tentang pengalihan kewenangan penetapan toll fee gas bumi melalui pipa yang sebelumnya ditetapkan BPH Migas, beralih ke tangan Menteri Energi dengan persetujuan presiden.
Usul penambahan ayat (5) ini ditolak DPR dalam rapat Panja. Dengan demikian, Pasal 46 UU Migas tidak berubah.
Oleh karena itu, pasal 1-4 pun semestinya dihapus dalam naskah final. Namun, Pasal 46 ayat (5) itu tetap masuk draf 905 halaman yang dibawa ke rapat paripurna 5 Oktober lalu. Dalam naskah 812 halaman yang dikirimkan kepada Presiden Jokowi melalui Kementerian Sekretariat Negara, pasal tersebut tetap ada.
Baca Juga
Sampai di Setneg, naskah itu dicek kembali dan kemudian mengusulkan perubahan terhadap pasal-pasal yang dianggap perlu dikoreksi. Supratman menyebut bahwa Baleg DPR lupa menghapus pasal tersebut dan siap mengoreksi.
"Ada permintaan recall dari Setneg terkait hal tersebut. Setneg minta konfirmasi dan saya paraf," ujar Supratman.
Dengan demikian, dalam naskah omnibus law setebal 1.187 halaman yang dikirimkan Sekretariat Negara ke sejumlah organisasi masyarakat Islam, pasal 46 sudah tak ada lagi.
"Jadi, ada koreksi teknis penulisan saja," ujar dia.
Supratman mengaku tak masalah jika kesalahan teknis ini kemudian menimbulkan kecurigaan-kecurigaan masyarakat akan kemungkinan adanya pasal selundupan.
"Wajarlah kalau ada kecurigaan itu, tapi pertanyaannya apakah [penghapusan pasal] itu menjadi sesuatu yang substansial atau tidak? Saya yakin, begitu dicocokkan dengan UU existing-nya dan pengaturannya dobel, ya, memang seharusnya dihapus," ujar Supratman.
Pengamat politik, Ray Rangkuti, menyebut kesalahan DPR yang lupa menghapus Pasal 46 UU Migas dari naskah final UU Omnibus Law Cipta Kerja, tidak bisa dianggap enteng.
"Mengapa pasal yang sudah dinyatakan dihapus, tapi masih bisa masuk di dalam naskah UU yang bahkan disampaikan kepada presiden? DPR harus melakukan pemeriksaan internal, apakah benar ayat itu hilang secara tidak sengaja atau sebaliknya sengaja?" ujar Rangkuti lewat keterangan tertulis, Jumat (23/10/2020).
DPR, kata Rangkuti, semestinya telah melakukan penyisiran secara teliti, bahkan jauh sebelum undang-undang ini ditetapkan di rapat paripurna.
Peristiwa ini, ujar Rangkuti, memberi sinyal kuat memang ada proses legislasi yang tidak dilakukan dengan cara yang memadai. "Unsur kebut atau cepat berakibat pada banyak hal," ujar dia.