Bisnis.com, JAKARTA – Politikus Partai Gelora Fahri Hamzah angkat bicara soal polemik atau pro-kontra yang menyelimuti Omnibus Law UU Cipta Kerja yang sudah disepakati pada Senin (5/10/2020).
Melalui kanal Youtube milik Fadli Zon Official, Kamis (22/10/2020), Fahri mengatakan undang-undang yang menuai kontroversi itu sudah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak UU tersebut dirancang.
Mantan wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu menyayangkan pemerintah yang tidak mengantisipasi pasal-pasal di dalam UU Cipta Kerja sehingga memunculkan polemik di masyarakat.
“UU Omnibus [Cipta Kerja] itu kan sudah peristiwa 9-10 bulan yang lalu, sudah masuk ke dalam Prolegnas [program legislasi nasional]. Kenapa enggak diantisipasi UU ini akan meledak? Poin-poin ini harus dikampanyekan dari awal, masuk tv [misalnya],” kata Fahri kepada Fadli Zon seperti dikutip Bisnis, Jum’at (23/10/2020).
Fahri juga menyoroti berbagai elemen masyarakat yang dengan lantang menolak keberadaan Omnibus Law UU Cipta Kerja. Bahkan, mahasiswa hingga buruh melakukan aksi demonstrasi di berbagai kota hingga saat ini.
Dia justru heran dengan sikap pemerintah. Pasalnya, Fahri menilai UU Cipta Kerja memiliki nama atau "branding" yang sangat bagus, yaitu menciptakan lapangan pekerjaan.
“Sekarang siapa yang nggak mau kerja? Siapa yang nggak mau peluang kesempatan kerja? Katanya membela UKM. Nah, UKM mana yang nggak suka kalau dia nggak perlu bayar untuk [mengurus] izin,” sambungnya.
Namun, mantan aktivis 98 itu mempertanyakan sebenarnya pemerintah memberikan kebaikan ada di dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja untuk kalangan mana.
Kepada Fadli Zon, Fahri lantas dengan mengaitkan polemik Omnibus Law UU Cipta Kerja terhadap salah satu puisi milik penyair W.S. Rendra.
“Itu semua maksudnya baik. Tapi kan seperti puisi Rendra, maksud baik Saudara untuk siapa? Anda berada di pihak yang mana? Ini nggak ada [di UU Cipta Kerja],” ujarnya.
Karena itu, Fahri mengatakan tugas besar orang-orang di lingkaran kekuasaan saat ini untuk memperbaiki image pemerintah di masyarakat.
Dia mengatakan pada dasarnya pemimpin di Indonesia mempunyai nilai lebih yang diberikan dari rakyat.
“Orang itu [rakyat] tidak mau underestimate terhadap pemerintah. Kita ini kaum intelektual dapat underestimate kepada pemimpin, kepada negara, dan kepada pemerintah. Tapi rakyat tidak, mereka selalu meletakkan pemerintah itu lebih. Makanya kalau [pemerintah] ngomong, ya rakyat dengar,” kata Fahri.