Bisnis.com, JAKARTA - Konflik militer dua negara bertetangga, Armenia dan Azerbaijan, di daerah kantong Nagorno-Karabakh mulai menjadi isu global. Puluhan korban pun telah berjatuhan.
Bukan tidak mungkin perang di wilayah yang dikuasai Azerbaijan, namun memiliki etnis mayoritas Armenia itu, secara cepat berubah menjadi konflik regional yang lebih luas.
Setidaknya ada Rusia dan Turki yang siap tampil dalam dalam teater perang proksi yang sulit ditebak sampai di mana ujungnya. Bahkan, bisa saja, Iran turut serta melibatkan diri dalam konflik itu sehingga persoalan kian rumit.
Turki dan Rusia tidak saja punya irisan kepentingan atas kedua negara, tetapi juga punya konflik kepentingan mengingat Nagorno-Karabakh memiliki kekayaan alam cukup “menggoda”.
Sangat mungkin setiap aktor regional yang kuat bersekutu di sisi berlawanan dalam pertempuran yang sudah memasuki hari ketiga tersebut.
Tidak heran pula kalau pertarungan yang lebih luas antara Moskow dan Ankara bisa memicu apa yang diramalkan beberapa analis sebagai "bentrokan para raksasa" yang monumental.
Saat Azerbaijan melancarkan serangan, pasukan Armenia di Nagorno-Karabakh terlibat dalam upaya intens untuk mempertahankan wilayah dan mencegah terobosan apa pun oleh pihak Azerbaijan.
Perang di antara kepentingan regional
Armenia telah melaporkan lebih dari 80 tentara mereka tewas, sedangkan Azerbaijan belum merilis korban tewas resmi untuk tentaranya.
Dewan Keamanan PBB pun segera menggelar pertemuan untuk mengerem eskalasi pertempuran lebih jauh.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov, seperti dikutip AsiaTimes.com, Rabu (30/9), mengatakan Rusia sedang memantau situasi dengan cermat.
Prioritas saat ini adalah untuk menghentikan permusuhan, bukan untuk berurusan dengan siapa yang benar dan siapa yang salah, ujarnya.
Sedangkan Tehran menyatakan pihaknya siap "untuk menggunakan semua kapasitasnya untuk membuat gencatan senjata dan memulai pembicaraan antara kedua belah pihak.
Pernyataan dari juru bicara Kementerian Luar Negeri Saeed Khatibzadeh itu menyerukan untuk "segera mengakhiri konflik."
Hanya saja Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menuntut Armenia mengakhiri “pendudukan” di Nagorno-Karabakh.
Di wilayah kantong yang secara administratif masuk wilayah Azerbaijan itu, etnis Armenia mendeklarasikan sebuah republik bernama Nagorno-Karabakh yang memisahkan diri setelah perang untuk otonomi pada tahun 1991. Hanya saja negara itu belum diakui oleh negara-negara lain.
"Waktunya telah tiba untuk mengkakhiri krisis di wilayah yang dimulai dengan pendudukan Nagorno-Karabakh oleh Armenia," kata Erdogan.
Erdogan berpendapat bahwa sekarang Azerbaijan yang harus menangani masalah tersebut. Karena itulah di tengah situasi dinamis ini, panggung politik akan ditentukan oleh bagaimana persaingan sengit di antara rival regional tersebut.
Segitiga Kaukasus Selatan
Sebenarnya wilayah yang dikenal dengan Kaukasus Selatan (South Caucasus) telah lama menjadi ajang pertarungan kepentingan yang penuh sejarah penyerahan dan penaklukan oleh kekuatan yang lebih besar.
Selama berabad-abad pula kerajaan Persia, Ottoman, dan Rusia berjuang untuk menaklukkan dan menguasai daerah tersebut.
Kerentanan geografis dalam beberapa hari terakhir ini terbukti lagi dengan perebutan Nagorno-Karabakh yang kembali menyeret persaingan kekuatan regional.
Replikasi modern dari kontes geopolitik ini adalah antara Rusia dan Turki, dengan Iran sebagai kekuatan pihak ketiga yang penting namun sering dianggap remeh.
Masing-masing, dari ketiga "pemain" regional ini, memiliki kepentingan dan pengaruh berharga di Kaukasus Selatan.
Akan tetapi, dengan pecahnya pertempuran serius terbaru maka risiko perang akan berlangsung lama telah mempertajam perhatian mereka.
Dari perspektif “Segitiga Karabakh” ini, peta dari bentrokan yang akan terjadi akan semakin kompleks karena sulit ditebak siapa yang akan mendominasi kekuatan.
Karena itu, saat ini, Rusia, Turki, dan Iran tetap waspada dan dilaporkan mengikuti peristiwa yang terjadi di medan perang.
Turki di balik kekuatan Azerbaijan
Dari ketiga kekuatan regional, Turki adalah yang paling aktif. Dukungan Turki terhadap sekutunya di Azerbaijan meningkat secara signifikan dalam beberapa bulan terakhir.
Percepatan bantuan Turki ini terutama didorong oleh keinginan untuk mendapatkan kembali perannya yang dulu sebagai pelindung militer terkemuka Azerbaijan.
Langkah Turki itu tidak terlepas dari kekhawatirannya karena Rusia dan Israel mulai menjual senjata ke Azerbaijan sehingga pamor negara itu memudar.
Dengan memberikan pelatihan dan peralatan militer kepada mitra Azerbaijan, Turki telah mendorong negara itu untuk mengambil sikap yang lebih tegas dan bahkan agresif terhadap Armenia.
Latihan militer baru-baru ini di bawah pengawasan Turki telah memupuk semangat korps perwira Azerbaijan, yang pada gilirannya menimbulkan rasa terlalu percaya diri di antara kelompok berpangkat dan kalangan prajurit.
Selama ini kurangnya disiplin dan pelatihan dasar yang tidak memadai telah mengakibatkan kesiapan tempur keseluruhan pasukan militer Azerbaijan menjadi rendah.
Sedangkan dari sudut pandang Turki, kebutuhan dan keperluan militer tersebut menjadi prioritas. Hal itu juga akan mempertinggi ketergantungan militer Azerbaijan pada bantuan dan bimbingan Turki.
Peran Rusia terus melemah
Pada tingkat yang lebih luas, Turki juga diuntungkan oleh kekosongan yang tampak, karena tawaran militer Rusia ke Azerbaijan telah dibatasi secara ketat.
Rusia cenderung menyetujui kesepakatan penjualan senjata yang besar dan mahal selain pengadaan sistem senjata serangan modern.
Meskipun hubungan Rusia dengan Azerbaijan terus menguat melalui pejabat militer senior, kurangnya hubungan dengan tingkat yang lebih rendah seperti komandan unit dan perwira tingkat menengah, telah memberikan para penasihat dan instruktur militer Turki keuntungan yang jelas.
Akan tetapi, sudut kedua dari segitiga Karabakh ini, Rusia, memiliki keunggulan tersendiri yang melampaui pengaruh Turki.
Terlepas dari keraguan atas ambisi Rusia di wilayah tersebut, Azerbaijan kini melihat Rusia sebagai satu-satunya pemain penting dalam konflik Karabakh.
Persepsi ini berasal dari beberapa faktor. Pertama, Azerbaijan mengakui bahwa Moskow telah mengambil inisiatif diplomatik dalam proses perdamaian Karabakh.
Keuntungan lain bagi Rusia adalah bahwa Armenia tidak hanya tidak memiliki alternatif keamanan yang nyata dari Rusia. Ketegangan yang semakin besar dan ancaman pertempuran yang semakin serius membuat Armenia semakin bergantung pada janji-janji keamanan oleh Rusia.
Akan tetapi, meskipun ada tekanan Rusia yang konstan dan konsisten terhadap pemerintah Armenia, hubungan Armenia dan Rusia bersifat transaksional.
Ketiga, seperti ditunjukkan pada pertempuran sebelumnya, hanya Rusia yang tanggap secara efektif atas konflik yang terjadi pada April 2016.
Ini juga terbukti dalam kenyataan bahwa satu-satunya kesepakatan gencatan senjata yang dicapai dalam konflik Karabakh ditengahi dengan keterlibatan Rusia.
Dalam jangka panjang juga, peran Rusia akan menjadi penting untuk setiap penyelesaian negosiasi atas Karabakh.
Selain itu, Rusia kemungkinan akan menjadi satu-satunya aktor regional yang mampu menegakkan perdamaian dan membantu memastikan setiap potensi kesepakatan perdamaian yang tahan lama.
Kekuatan Persia
Melihat ke masa depan dan di luar proyeksi kekuatan Turki dan keunggulan strategis Rusia, Iran adalah elemen ketiga dari segitiga Karabakh.
Iran sebagai aktor regional tidak bisa diremehkan.
Lebih khusus lagi, setelah kegagalan Iran dalam kesepakatan nuklir dengan negara Barat, negara itu sekarang bersiap untuk kembali melirik wilayah Kaukasus Selatan.
Artinya, ketegangan mendasar Iran dengan negara Barat bisa menjadi pendorong bagi peran Iran di Kaukasus Selatan, tidak seperti Irak dan Suriah, sekadar dua contoh penting.
Kembalinya Iran sebagai aktor regional di Kaukasus Selatan akan dimotivasi oleh keinginan untuk melawan dua saingan utama dan pihak yang dianggap penyusup, yakni Rusia dan Turki.
Bisa juga Iran punya motivasi untuk memperkuat daya gertaknya sebagai penganut Islam Syiah karena berteman dengan Azerbaijan sebagai sesama negara Syiah.
Selain itu, Teheran juga akan berhati-hati untuk tidak secara langsung menghadapi atau menantang baik Ankara atau Moskow, melainkan kemungkinan akan terus melemahkan dengan mengikis posisi saingannya di wilayah tersebut.
Dalam hal inilah, Iran akan meningkatkan hubungannya yang sudah baik dengan satu-satunya tetangganya yang stabil dan bersahabat, Armenia.
Dengan latar belakang itu, tahap berikutnya dari perebutan Karabakh kemungkinan akan mengantarkan pada periode ketidakstabilan baru di wilayah itu.
Bahkan, konflik itu, seperti disebut di awal tulisan ini, lebih tak terduga dalam apa yang oleh beberapa orang anggap sebagai bentrokan raksasa regional bahkan global yang akan datang.