Bisnis.com, JAKARTA - Di pasar negara berkembang, pemulihan ekonomi dengan grafik berbentuk K sedang berlangsung.
Kondisi itu mempertegas kesenjangan di tengah pandemi, seiring mata uang dan saham di negara berkembang yang lebih kaya mengungguli pergerakan di negara yang lebih miskin.
Jurang pemisah itu bahkan bisa lebih luas jika pandemi menyebabkan resesi yang lebih dalam di negara-negara berpenghasilan rendah karena kapasitas yang terbatas untuk menanggulangi pandemi.
Sebuah studi Bloomberg terhadap 17 pasar negara berkembang menemukan korelasi 42 persen antara produk domestik bruto per kapita dan kinerja saham sejak aksi jual risiko yang dipicu oleh virus dimulai pada 20 Januari hingga awal pekan ini. Korelasi antara PDB per kapita dan pengembalian mata uang adalah 31 persen.
Kepala Penelitian Makro Global Nomura Holdings Inc. Rob Subbaraman mengatakan selama virus bertahan, maka divergensi berbentuk K akan terus berlanjut.
"Di pasar negara berkembang dengan utang yang meningkat pesat dan resesi yang dalam, biaya untuk membayar utang akan menjadi lebih memberatkan dan kami tidak dapat mengesampingkan beberapa krisis keuangan atau restrukturisasi utang yang besar," katanya dilansir Bloomberg, Kamis (3/9/2020).
Baca Juga
Pasar negara berkembang yang lebih kaya menempati posisi lebih baik untuk pulih dari aksi jual pada Maret karena kemajuan pada teknologi dan tata kelola memberi fleksibilitas yang lebih besar untuk merespons pandemi.
Negara-negara itu telah mampu membatasi dampak lockdown dan pembatasan jarak sosial, membuat respons fiskal yang lebih besar, dan lebih dilengkapi dengan sumber daya yang dibutuhkan untuk menekan wabah, seperti rumah sakit, pusat pengujian, dan fasilitas karantina.
Menurut indeks penguncian efektif yang disusun oleh Goldman Sachs Group Inc., Negara-negara seperti Korea Selatan dan Polandia telah mengalami peningkatan gangguan ekonomi terkecil. Ukuran tersebut memperhitungkan dari kombinasi pembatasan pemerintah yang menekan aktivitas dan menambahkan angka jarak sosial berdasarkan Google data mobilitas.
Ada korelasi negatif 54 persen antara ukuran Goldman dan PDB per kapita. Sebaliknya, negara-negara dengan indeks penguncian terendah cenderung mengalami kinerja pasar saham dan mata uang terbaik.
Adapun, kesenjangan kaya-miskin antara pasar negara berkembang di Asia merupakan yang terluas. Pengembalian saham dari empat negara dengan PDB per kapita di atas US$10.000 tahun lalu yaitu China, Korea Selatan, Taiwan dan Malaysia, telah 20 persen di atas negara-negara yang berada di bawah level tersebut, termasuk India, Indonesia, Filipina dan Thailand.
Meskipun sebagian disebabkan oleh jumlah perusahaan teknologi yang terdaftar di negara-negara sebelumnya, hal ini juga dipengaruhi fakta bahwa pihak berwenang di sana telah mengeluarkan lebih banyak uang untuk meyakinkan warga dan investor.
Respons fiskal Korea Selatan terhadap pandemi, termasuk tiga anggaran tambahan, berjumlah 270 triliun won (US$ 228 miliar), atau sekitar 14 persen dari PDB, memberikan dukungan ke pasar saham bahkan saat wabah lokal semakin parah.
Sebaliknya, pemerintah Filipina mengatakan tidak dapat mendanai paket stimulus 1,3 triliun peso (US$ 27 miliar) yang disetujui pada bulan Juni. Pasar saham nasional adalah kawasan dengan kinerja terburuk tahun ini, turun lebih dari 25 persen.
Ke depan, tingkat infeksi yang lebih rendah, ruang kebijakan yang lebih luas, dan layanan kesehatan yang lebih kuat dapat membantu negara-negara yang lebih makmur mempertahankan kepemimpinan mereka dalam pemulihan ekonomi.
Negara berkembang yang lebih kaya cenderung mendapatkan akses ke vaksin virus Corona yang efektif lebih cepat, mengikuti langkah-langkah negara maju. Bahkan ada risiko ekonomi yang lebih besar akan memonopoli pasokan, sebuah skenario yang dimainkan dalam pandemi flu babi 2009.
"Tidak banyak pasar berkembang yang memiliki akses ke teknologi mutakhir, dan mereka akan terus kesulitan. Kami akan terus melihat perbedaan di pasar negara maju dan berkembang di masa mendatang," kata Tsutomu Soma, pedagang obligasi di Monex Inc. di Tokyo.