Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

China Diramal Ambil Alih Posisi AS Jadi Ekonomi Terkuat Dunia pada 2032

Prediksi yang dibuat oleh para peneliti di Development Research Center (DRC) itu mencerminkan asumsi arus utama di Beijing tentang keberhasilan strategi pembangunan baru pemerintah China yang lebih fokus pada pasar domestiknya.
Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping bersalaman dalam konferensi pers di Great Hall of the People di Beijing, China, Kamis (9/11/2017)./Bloomberg-Qilai Shenn
Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping bersalaman dalam konferensi pers di Great Hall of the People di Beijing, China, Kamis (9/11/2017)./Bloomberg-Qilai Shenn

Bisnis.com, JAKARTA - Sebuah lembaga think tank pemerintah yang berbasis di Beijing memprediksi China akan mengambil alih posisi Amerika Serikat sebagai ekonomi terkuat dunia pada 2032.

Prediksi yang dibuat oleh para peneliti di Development Research Center (DRC) itu mencerminkan asumsi arus utama di Beijing tentang keberhasilan strategi pembangunan baru pemerintah China yang lebih fokus pada pasar domestiknya, mengingat semakin intensifnya persaingan ekonomi, teknologi dan geopolitik dengan AS

Laporan tersebut juga menggarisbawahi asumsi besar di China bahwa pertumbuhan ekonomi negara tersebut tidak dapat dihentikan.

Presiden China Xi Jinping menegaskan kembali pada awal pekan ini bahwa China harus mempercepat strategi "sirkulasi ganda" atau dual circulation yang dia perkenalkan pada Mei lalu, mengingat tensi dagang global yang cenderung memusuhi negara itu.

Menurut kelompok peneliti yang dipimpin oleh Chen Changsheng, perselisihan antara China dan AS akan semakin meningkat dalam lima tahun ke depan.

"Tidak dapat dikesampingkan bahwa AS akan menggunakan semua metode yang mungkin untuk menahan perkembangan China, termasuk menjatuhkan sanksi keuangan pada perusahaan China dengan menyalahgunakan yurisdiksi 'lengan panjang' [untuk memberlakukan hukum AS di luar perbatasan Amerika], merebut kepemilikan China atas aset utang AS, memaksa negara lain untuk memberlakukan embargo teknologi di China, serta mengecualikan China dari sistem pembayaran dolar [AS]," tulisnya dalam laporan tersebut dilansir South China Morning Post, Kamis (3/9/2020).

Namun, bahkan faktor-faktor tersebut tidak dapat menghentikan kenaikan ekonomi China. Para peneliti memperkirakan, pangsa China pada ekonomi global akan naik menjadi 18,1 persen pada 2025 dari 16,2 persen pada 2019, sementara pangsa AS akan turun menjadi 21,9 persen dari 24,1 persen pada periode yang sama.

Sebelumnya, Justin Lin Yifu, seorang profesor di Peking University dan mantan kepala ekonom Bank Dunia, memperkirakan China akan melampaui AS sebagai ekonomi terbesar di dunia pada 2030.

Namun, ada juga pandangan bahwa China mungkin tidak akan pernah melampaui AS untuk menjadi nomor satu karena populasinya yang menua. Yi Fuxian, seorang ilmuwan senior di University of Wisconsin-Madison, berpendapat bahwa dari sudut pandang demografis, China tidak akan dapat melampaui AS di masa mendatang.

Sementara itu, mantan menteri perdagangan China Chen Deming memperingatkan pada April 2019 bahwa China seharusnya tidak berasumsi untuk menjadi nomor satu cepat atau lambat.

Dikutip dari South China Morning Post, Konsultan ekonomi Capital Economics mengeluarkan laporan pada Januari tahun ini yang mengatakan bahwa dampak deglobalisasi akan mengikis keuntungan ekonomi China di tahun-tahun mendatang.

"Asumsi luas bahwa China akan mengambil alih AS sebagai ekonomi terbesar di dunia kemungkinan besar terbukti salah," katanya pada saat itu.

Namun, banyaknya perubahan di dunia sejak Januari, dari pandemi virus corona hingga konflik yang semakin intensif antara AS dan China, membuat semakin tidak jelas bagaimana ekonomi global akan berkembang.

Laporan DRC berpendapat bahwa sementara tingkat pertumbuhan rata-rata produk domestik bruto (PDB) tahunan China diperkirakan akan melambat ke kisaran 5 hingga 5,5 persen dalam lima tahun ke depan, dari tingkat 6,1 persen pada 2019, PDB per kapita China dapat meningkat menjadi US$ 14.000 pada 2024.

Kondisi ini mendorong negara tersebut keluar dari negara berpenghasilan menengah ke dalam kategori berpenghasilan tinggi. Akibatnya, kelompok itu memperkirakan ukuran ekonomi China akan melebihi Uni Eropa pada 2027 dan melampaui AS pada 2032.

Tim Chen Changsheng, salah satu ekonom pemerintah berpendapat bahwa lanskap ekonomi global akan mengalami perubahan besar di tahun-tahun mendatang karena negara dan perusahaan multinasional semakin memasukkan faktor keamanan ke dalam desain rantai pasokan. Ekonomi global akan terpecah menjadi tiga blok besar yang berpusat di Amerika Utara, Eropa dan China.

Faktor penting yang diharapkan untuk mendorong pertumbuhan masa depan China adalah ekonomi digital dan sektor jasa yang keduanya diharapkan terus berkembang di tahun-tahun mendatang. Pangsa sektor industri dalam PDB China dapat turun menjadi 35 persen pada 2025 dari 39 persen pada 2019, sementara pangsa sektor jasa diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 60 persen pada 2025 dari 53,9 persen pada 2019.

Kontribusi ekonomi digital China terhadap ekonomi nasional diproyeksikan meningkat dari sekitar 6 persen pada 2019 menjadi 11 persen pada 2025.

Adapun, kelas menengah China diperkirakan akan terus berkembang pesat, meningkatkan konsumsi. China memiliki sekitar 400 juta warga kelas menengah pada 2018, menurut standar Bank Dunia. Tingkat itu diperkirakan akan meningkat menjadi 560 juta orang pada 2025.

Namun, para peneliri juga mencatat bahwa ambisi China untuk menciptakan pasar domestik yang besar akan dibatasi oleh kesenjangan kekayaan negara yang besar dan semakin meningkat.

Selain itu, populasi yang menua dengan cepat di negara itu akan menjadi tantangan besar bagi China dalam lima tahun ke depan. Satu dari setiap lima warga negara China akan berusia di atas 60 pada 2025, sementara populasi tenaga kerja di negara itu diperkirakan akan menyusut hingga 20 juta selama periode itu.

"Akibatnya, tabungan akan turun dan biaya tenaga kerja akan naik. Dengan beban yang semakin besar dalam hal pensiun, perawatan kesehatan dan kebutuhan kesejahteraan sosial lainnya," tulis para peneliti.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Reni Lestari
Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper