Bisnis.com, JAKARTA - Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 meminta masyarakat tidak perlu khawatir atau takut untuk menjalani pemeriksaan cepat atau rapid test. Pasalnya hal ini merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan penyebaran Covid-19.
Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Nasional Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan bahwa tidak semua orang harus menjalani rapid test. Dia mengatakan bahwa tujuan utama tes tersebut adalah penyaringan terhadap orang-orang yang memiliki kontak erat dengan pasien Covid-19 sebelum mereka melaksanakan tes dengan metode PCR.
“Screening atau memastikan orang yang memiliki kontak erat dengan penderita itu yang harus dites apakah yang bersangkutan terinfeksi atau tidak. Kalau tidak reaktif, 7-10 hari diulang tes kembali, jadi yang dilakukan dalam rangka menapis [menyaring]. Tidak semua orang harus tes,” kata Wiku dalam konferensi pers dari kantor BNPB, Jakarta, Jumat (19/6/2020).
Dia menjelaskan, hasil rapid test ada dua, yakni reaktif dan non-reaktif. Tes ini hanya pengujian awal untuk mengetahui tingkat antibodi seseorang. Lazimnya, calon kuat pasien Covid-19 akan memiliki hasil reaktif yang artinya menunjukan antibodi orang tersebut tengah berkerja melawan virus.
Akan tetapi, tidak semua orang yang memiliki hasil rapid test reaktif akan langsung tercatat sebagai pasien Covid-19. Pasalnya, antibodi yang berkerja itu belum tentu tengah melawan virus Corona.
Menurutnya, orang tersebut harus menjalani tes dengan metode PCR untuk memastikan terinfeksi virus Corona atau tidak.
Baca Juga
“Kalau PCR negatif tidak ada virus. Berarti dia bukan penderita [Covid-19],” katanya.
Sementara itu, Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy mengatakan bahwa sejumlah masyarakat sempat menolak melakukan rapid test. Mereka rata-rata menolak karena faktor psikologis.
“Mereka itu khawatir kalau positif ada sesuatu yang harus dalam kaitan beban psikis mereka hadapi, seperti mereka harus pisah dari keluarga, karantina, dan lain-lain. Lebih ke beban psikologis kalau kita diskusi ke masyarakat yang menolak rapid test tersebut,” katanya.
Dia melanjutkan saat ini provinsi Banten menyiapkan kurang lebih 120.000 rapid test. Jumlah tersebut merepresentasikan 1 persen dari total populasi, yakni kurang lebih 12 juta orang.
Terkait warga yang menolak rapid test, Wagub Banten akan melakukan pendekatan secara personal. Hal ini telah dilakukan satu di antaranya dengan mendatangi pondok pesantren untuk menjelaskan fungsi rapid test.