Bisnis.com, JAKARTA - China menegaskan diplomat utamanya, Yang Jiechi, telah melakukan dialog konstruktif dengan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo di Hawaii sehingga keduanya sepakat untuk memperbaiki hubungan bilateral yang memburuk.
Yang dan Pompeo melakukan diskusi mendalam mengenai hubungan China-AS, masalah internasional dan regional yang menjadi perhatian bersama. Wakil Sekretaris Stephen Biegun, perwakilan khusus AS untuk Korea Utara, juga menghadiri pembicaraan.
"Kedua belah pihak telah sepenuhnya menyatakan sikap mereka dan percaya ini adalah dialog yang konstruktif," lapor kantor berita pemerintah Xinhua, dilansir South China Morning Post, Kamis (18/6/2020).
Selain itu, kedua belah pihak sepakat untuk mengambil tindakan serius mengimplementasikan konsensus yang dicapai oleh para pemimpin dan melanjutkan komunikasi.
Departemen Luar Negeri AS mengeluarkan sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa AS menekankan kepentingan-kepentingan negara itu dan perlunya hubungan timbal balik sepenuhnya antara kedua negara melintasi interaksi komersial, keamanan, dan diplomatik.
"Pompeo juga menekankan perlunya transparansi penuh dan berbagi informasi untuk memerangi pandemi Covid-19 yang sedang berlangsung dan mencegah wabah di masa depan," kata pernyataan itu.
Baca Juga
Pertemuan itu diadakan karena kedua negara saling menuduh tentang berbagai masalah. Pada hari yang sama kedua diplomat bertemu, Presiden AS Donald Trump menandatangani undang-undang yang mengesahkan sanksi terhadap pejabat China atas pemusnahan massal kelompok etnis minoritas Muslim di wilayah otonomi Xinjiang Uygur di barat laut China.
Kementerian luar negeri China membalas balik beberapa jam kemudian, mengajukan perlawanan keras dan mengecam tindakan itu sebagai serangan jahat terhadap kebijakan pemerintah China di Xinjiang. Kementerian berjanji untuk meluncurkan tindakan balasan terhadap AS jika negara itu tidak berhenti melakukan intervensi dalam urusan internal China.
Pengamat diplomatik mengatakan pertemuan itu menunjukkan kedua negara tidak ingin hubungan bilateral mereka terputus, terutama menjelang pemilihan presiden AS mendatang. Namun, harapannya rendah, dengan Beijing dan Washington kerap berselisih mengenai berbagai masalah.
Hal ini termasuk isu terkait Taiwan, Hong Kong, pertarungan senjata, teknologi tinggi, penanganan pandemi Covid-19, proyek Belt and Road Initiative, ideologi dan soft power.
"Tidak mungkin melihat kedua belah pihak melakukan kompromi yang signifikan pada satu atau dua masalah di atas untuk memungkinkan pelonggaran ketegangan secara substansial untuk jangka waktu yang cukup lama," kata Shi Yinhong, profesor hubungan internasional dengan Universitas Renmin di Beijing yang juga menjadi penasihat pemerintah.
Dia mengatakan, mempertahankan kontak diplomatik tidak dapat memastikan peningkatan yang berarti dalam hubungan bilateral.