Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Michael Pompeo mengkritik HSBC Holdings Plc karena mendukung memberlakukan undang-undang keamanan nasional di Hong Kong yang diprakarsai China.
Kritik ini menambah tekanan politik pada perusahaan multinasional yang bergantung pada wilayah bekas jajahan Inggris tersebut.
Dilansir dari Bloomberg, Pompeo menuduh raksasa perbankan yang bermarkas di London itu dalam sebuah pernyataan Selasa karena terlibat dalam strategi penindasan Partai Komunis China (PKC) yang memaksa terhadap Inggris.
Kritik oleh oleh diplomat tertinggi AS ini diutarakan setelah salah satu pemegang saham terbesar di HSBC dan Standard Chartered Plc menyatakan tidak nyaman dengan keputusan bank untuk mendukung undang-undang tersebut tanpa mengetahui ketentuannya dan bagaimana aturan tersebut akan diterapkan.
"Tekanan PKC terhadap HSBC, khususnya, harusnya sebagai peringatan. Pembuktian kesetiaan tersebut tampaknya membuat HSBC kurang dihargai di Beijing, yang terus menggunakan bisnis bank di China sebagai pengaruh politik terhadap London," ungkap Pompeo, seperti dikutip Bloomberg, Rabu (10/6/2020).
Seorang juru bicara HSBC yang berbasis di Hong Kong menolak memberikan komentar. Perwakilan dari Ping An Insurance Group Co dan Vanguard Group, dua investor utama HSBC, juga menolak memberikan komentar.
Baca Juga
Risiko politik
Pernyataan tersebut menunjukkan posisi sulit HSBC dalam mengelola risiko politik di tengah hubungan yang semakin kontroversial antara dua ekonomi terbesar di dunia. HSBC dan Standard Chartered keduanya bermarkas di London, tetapi menghasilkan sebagian besar keuntungan mereka di Asia. Hong Kong berkontribusi lebih dari US$ 12 miliar terhadap laba sebelum pajak HSBC tahun lalu.
Pemerintah Presiden Xi Jinping semakin tegas dalam upaya memaksa negara, perusahaan, dan individu asing untuk mendukung kedaulatannya atas wilayah-wilayah seperti Hong Kong dan Taiwan.
Tahun lalu, chief executive officer Cathay Pacific Airways Ltd. mengundurkan diri setelah China menegur operator yang berbasis di Hong Kong tersebut atas partisipasi stafnya dalam gelombang aksi demonstrasi pro-demokrasi.
Bulan lalu, parlemen China menyetujui resolusi yang akan memberlakukan undang-undang tentang Hong Kong yang dapat menuntut dengan pidana terhadap orang yang mengkritik keras pemerintah.
Sejumlah taipan terkaya di Hong Kong mendukung langkah ini, meskipun para pendukung pro-demokrasi dan sejumlah pejabat AS dan Inggris telah menyatakan kekhawatiran mereka bahwa keberpihakan tersebut akan membahayakan "otonomi tingkat tinggi" yang dijanjikan Hong Kong sebelum kembali ke pemerintahan China pada tahun 1997.