Bisnis.com, JAKARTA— Dunia kini dibayangi kekhawatiran akan munculnya gelombang kedua pandemi virus corona di tengah upaya memperbaiki ekonomi setelah mengangkat status lockdown.
Di jajaran negara Asia, seperti Hong Kong, Korea Selatan, dan China dinilai berhasil menangani pandemi dengan langkah karantina yang ketat atau pengujian massal yang cepat. Seiring dengan ekonomi yang dibuka kembali, kasus-kasus baru ditemukan tanpa bisa dilacak asal-muasalnya.
Para ahli telah memperingatkan bahwa ketika negara-negara melonggarkan aturan dan masyarakat mulai kembali beraktivitas, hal itu mungkin terjadi.
Pekan lalu, Korea Selatan melaporkan lonjakan tertinggi dalam tujuh minggu dengan 40 kasus baru. Sementara itu, per Senin (1/6/2020), Negari Ginseng itu mencatatkan 35 kasus baru sehingga total kasus menjadi 11.503 dengan kematian mencapai 271 jiwa.
Lonjakan tersebut terjadi setelah negara itu melaporkan klaster baru infeksi di klub malam di Seoul yang telah menambahkan hampir 260 kasus.
Menurut data Pusat Pengendalian & Pencegahan Penyakit Korea atau KCDC, sebagian besar kasus terhubung ke pusat distribusi situs e-commerce perusahaan. KCDC juga mengatakan kasus yang terhubung ke pusat logistik Coupang Corp meningkat menjadi 36 dengan kemungkinan menulari sekitar 4.000 orang atau lebih banyak kasus diperkirakan akan muncul dari klaster ini.
Di Wuhan, China yang menjadi episenter pandemi juga melihat kemunculan sekelompok kasus baru. Pemerintah langsung menggalakkan pengujian ambisius mulai 12 Mei 2020 di wilayah timur laut kota itu dengan melibatkan hampir 7 juta orang dalam 12 hari. Respons tanggap mencerminkan pentingnya menjaga upaya pemulihan yang selama ini dilakukan China.
Sedangkan di Jepang, Perdana Menteri Shinzo Abe telah mengangkat status darurat di Tokyo dan seluruh negeri pada pekan lalu. Abe mengatakan pemerintahnya membuka ekonomi dengan hati-hati sambil mewaspadai risiko munculnya gelombang kedua virus corona.
Kemudian di daratan Eropa, bergeliatnya ekonomi juga tampak di berbagai negara. Italia yang sempat menjadi pusat pandemi di Eropa, telah membuka toko, bar, restoran, dan gerai cukur rambut.
Di sisi lain,Spanyol yang menerapkan lockdown paling ketat di Benua Biru, memasuki fase pertama pelonggaran pada sekitar 70 persen wilayah negaranya. Hal itu memungkinkan pertemuan kelompok hingga 10 orang, sedangkan bar dan restoran sudah diizinan beroperasi. Langkah serupa juga ditempuh Jerman, Portugal, dan Yunani.
Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez mengatakan pihaknya akan membuka pariwisata dengan hati-hati. Pemerintah sedang melakukan pembicaraan dengan negara-negara Eropa lainnya tentang kemungkinan membangun koridor sanitasi untuk pariwisata di antara kawasan yang dianggap berisiko rendah terhadap penularan.
"Spanyol membutuhkan pariwisata tetapi pariwisata membutuhkan keamanan," katanya, dilansir Bloomberg, Senin (1/6/2020).
Para pemimpin di Eropa mengindikasikan telah berdamai dengan risiko munculnya gelombang baru sebagai dampak pelonggaran lockdown, sambil menunggu vaksin rampung diproduksi dan didistribusikan. Inggris diketahui menggelontorkan US$159 juta untuk mengakselerasi pengembangan vaksin yang diperkirakan tersedia pada musim panas 2021.
Meski demikian, penasehat ilmiah pemerintah di Inggris mengatakan pelonggaran pembatasan pergerakan orang yang terlalu cepat akan menyebabkan infeksi terus meningkat.
John Edmunds dan Jeremy Farrar mengatakan sistem pelacakan penyebaran virus di Inggris yang belum teruji akan memperburuk risiko penularan lebih luas. Edmunds memproyeksikan Inggris akan menjadi tempat 40 hingga 80 kematian akibat corona setiap hari, mengacu pada kondisi saat ini.
Farrar menambahkan bahwa layanan kesehatan nasional dan sistem pelacakan baru perlu bekerja dalam kapasitas penuh sebelum langkah-langkah pembatasan dilonggarkan.
Inggris juga berecana membuka kembali bandara untuk wisatawan. Sayangnya, hal itu dikecam oleh pasukan perbatasan dan pejabat kepolisian yang mengatakan sistem di negara itu tak cukup mampu memfasilitasi karantina untuk wisatawan asing.
"Kita harus menerima bahwa kita mungkin harus hidup dengan virus ini untuk sementara waktu," kata PM Inggris Boris Johnson.
Senada, Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte mengatakan pemerintah tak bisa menunggu vaksin untuk membuka kembali ekonomi. Menurutnya, upaya yang ditempuh kini telah didasarkan pada risiko yang diperhitungkan dan kesadaran bahwa kurva penularan mungkin akan kembali meningkat.
Sementara itu, dampak ekonomi lanjutan dari gelombang kedua pandemi juga telah dibicarakan di pertemuan Federal Open Market Committee pada akhir April. Sebagian peserta komite itu menilai bahwa kemungkinan besar ada gelombang kedua wabah dalam waktu dekat hingga menengah.
"Dalam skenario seperti itu, diyakini kemungkinan akan ada gangguan ekonomi lebih lanjut," demikian tertulis dalam risalah pertemuan.
Para pejabat Federal Reserve juga memperingatkan kemungkinan meningkatnya kebangkrutan bisnis dan rumah tangga serta ancaman terhadap stabilitas keuangan. Selain itu, meski ekonomi mulai berputar dan pabrik-pabrik kembali beroperasi di banyak negara, kekhawatiran gelombang kedua juga membayangi kepercayaan konsumen.
Direktur Senior Indikator Ekonomi The Conference Board, Lynn Franco mengatakan ekonomi yang berangsur berputar kembali telah menghentikan penurunan kepercayaan konsumen. Namun, pemulihannya cenderung melambat karena dibayangi ketidakpastian gelombang kedua virus corona.