Bisnis.com, JAKARTA – Publik di Tanah Air dihebohkan dengan beredarnya video pembuangan mayat anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia (WNI) di sebuah kapal penangkap ikan milik perusahaan asal China.
Tayangan video jenazah ABK Indonesia dibuang ke laut itu viral setelah pemilik akun YouTube, Korea Reomit bernama Jang Hansol menyebarkan berita yang tengah viral di Korea Selatan, yakni dari stasiun televisi MBC.
Dalam video itu, disebutkan MBC mendapatkan rekaman itu setelah kapal tersebut bersandar di Pelabuhan Busan, Korsel. Para ABK Indonesia itu meminta bantuan kepada pemerintah Korsel dan media setempat. Permintaan itu sempat ditolak.
Namun, akhirnya permintaan itu diterima karena ada unsur pelanggaran hak asasi manusia. Seperti perlakuan terhadap ABK Indonesia yang diberi minum penyulingan air laut sehingga membuat mereka sakit dan meninggal.
Selain itu, ada tindakan eksploitasi jam kerja yang mencapai 30 jam dengan waktu istirahat selama 6 jam termasuk untuk istirahat makan. Tidak hanya itu saja, mereka bekerja selama 13 bulan hanya diberi pesangon sekitar US$120 atau setara dengan Rp1,7 juta.
Akibat perlakuan tersebut sebanyak 3 ABK asal Indonesia sakit dan meninggal di atas kapal. Mayat mereka diklaim dilarung di laut mengikuti standar International Labour Organization (ILO).
Ada satu ABK asal Indonesia yang meninggal di rumah sakit Busan, Korsel. Korban berinisial EP ini dikabarkan sakit parah, sempat sesak napas dan muntah darah. Jenazahnya, menurut rencana dipulangkan hari ini, bersama 14 ABK yang selamat.
Korban meninggal dan selamat tersebut seluruhnya bekerja pada satu perusahaan yang sama. Hanya kapalnya saja yang berbeda-beda. Total ada 46 ABK asal Indonesia yang bekerja pada perusahaan tersebut.
Perinciannya, ada 15 ABK yang bekerja di kapal Long Xing 629. ABK berinisial EP bekerja di kapal ini. Tiga korban meninggal, yang jenazahnya dilarung ke laut juga bekerja di kapal ini. Namun, waktu kejadiannya berbeda.
Satu ABK asal Indonesia yang viral diberitakan televisi MBS berinisial AR. Dia meninggal pada 30 Maret 2020. Menurut KBRI Seoul, pada 26 Maret 2020 AR sakit, dan dipindahkan dari kapal Long Xing 629 ke kapal Tian Yu 8 untuk dibawa berobat ke pelabuhan.
Namun, kondisi AR kritis hingga akhirnya menghembuskan napas terakhir pada 30 Maret 2020. Kemudian, jenazah dilarung ke laut.
Masih pada kapal yang sama, terdapat dua ABK asal Indonesia yang meninggal saat berlayar di Samudera Pasifik, dan jenazahnya dilarung di laut pada Desember 2019.
Sementara itu, pada kapal kedua, Long Xing 605 terdapat 8 ABK yang berasal dari Indonesia. Mereka telah dipulangkan pada 24 April 2020. Kapal ketiga, di kapal Tian Yu ada tiga ABK Indonesia, dan ketiganya telah dipulangkan sejak 24 April 2020.
Kapal keempat, Long Xing 606, ada 20 ABK asal Indonesia. Sebanyak 18 orang sudah pulang ke Indonesia pada 3 Mei 2020. Dua lainnya masih di atas kapal yang saat ini berada di perairan Korea, dan sedang diurus keimigrasianya.
PERUSAHAAN YANG SAMA
Berdasarkan penelusuran Bisnis, keempat kapal tersebut berada di bawah bendera perusahaan China. Menurut situs Western & Central Pacific Fisheries Commission, perusahaan pemilik kapal itu adalah Dalian Ocean Fishing Co. ltd.
Perusahaan itu berbasis di Zhongshan, Dalian, China. Pemiliknya adalah Zhou Feng. Perusahaan ini merupakan penghasil tuna kemasan terbesar. Kapalnya beredar dari Pasific hingga benua Afrika.
Seperti dikutip dari liputanbmi.com, ABK asal Indonesia pernah mengalami kasus serupa dengan Dalian Ocean Fishing. Pada 8 November 2015, disampaikan bahwa sebanyak 8 mantan ABK asal Indonesia menutut haknya karena tidak dipenuhi oleh Dalian Ocean Fishery Co. Ltd.
Kapal China Longxing 629./sumber: iattc.org
Mereka bekerja di Longxing 621, Longxing 626, dan Longxing 627. Mereka meminta KBRI Beijing dan KJRI Cape Town mendatangi pemilik dan perwakilan Dalian Ocean Fishery untuk memenuhi hak para ABK. Para ABK itu tercatat berlayar dari Cape Town.
Para ABK itu menuntut kepastian tentang rincian akhir total gaji mereka yang sudah bekerja selama 11- 13 bulan. Mereka minta pulang lantaran kerap mendapatkan perlakuan tidak layak dan dipekerjakan secara overtime.
Karena pulang lebih awal, para ABK justru dituding melanggar perjanjian kerja, dan berakibat sisa gajinya habis untuk biaya tiket pesawat kepulangan dan hangus, karena minta pulang sebelum finis kontrak selama 2 tahun.
"Kami berharap, baik KJRI di Cape Town maupun perwakilan pemerintah kita di China bisa mendatangi pihak owner [Dalian Ocean Fishery] untuk meminta kejelasan rincian gaji kami, karena kami menduga ada permainan antara pihak PT LPB dengan pihak Dalian,” ujar Purwanto sallah satu ABK seperti dikutip dari liputanBMI, 8 November 2015. LPB adalah PT Lakemba Perkasa Bahari, perusahaan penyalur ABK asal Indonesia.
PENYELIDIKAN AGEN
Kemarin, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) meminta kepolisian dan Kementerian Ketenagakerjaan untuk menyelidiki 3 agensi yang mengirimkan ABK ke perusahaan China.
Tiga perusahaan yang mengirimkan ABK Indonesia ke kapal China adalah PT Lakemba Perkasa Bahari, PT Alfira Perdana Jaya, dan PT Karunia Bahari. Salah satu agen, PT LPB, perusahaan yang sama sebagai penyalur ABK pada kasus 2015.
"Untuk menemukan kemungkinan terjadinya tindak pidana di bidang ketenagakerjaan, tindak pidana perdagangan orang dan atau tindak pidana lainnya." Chief Executive Officer IOJI Mas Achmad Santosa menulis dalam keterangan pers, Kamis (7/5/2020).
Hansol mengatakan ABK asal Indonesia diduga dipaksa berdiri untuk bekerja selama 18 jam sehari. Mereka juga tak diberi minum yang layak, melainkan air laut yang difilter. ABK yang meninggal pun dibuang ke laut.
Pelabuhan Dalian yang merupakan basis Dalian Ocean Fishery Co. Ltd./vesselfinder.com
IOJI meminta pemerintah memeriksa seluruh pengurus perusahaan, dan pemilik perusahaan dari tiga agensi tadi. Bila ditemukan pelanggaran, kata Achmad, Kementerian Ketenagakerjaan dapat menjatuhkan sanksi administratif.
Menurut IOJI, Kementerian Luar Negeri seharusnya mengirimkan nota diplomatik kepada Pemerintah China dan mendesak agar memenuhi hak-hak ABK asal Indonesia. Selain itu juga meminta pemerintah China untuk menegakkan hukum pada perusahaan Dalian Ocean Fishing selaku pemilik.
Kementerian Perhubungan perlu segera melaksanakan pemeriksaan dan evaluasi kepatuhan serta menjatuhkan sanksi administratif berupa pencabutan Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK).
"Sesuai dengan Pasal 33 ayat (2) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 84 tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal antara lain atas pelanggaran pada ketentuan yang terdapat di dalam Perjanjian Kerja Laut, pemalsuan dokumen maupun pemungutan biaya perekrutan dan penempatan kepada PMI ABK."
Kementerian Luar Negeri sendiri telah mengirimkan nota diplomatik ke Kedutaan Besar China di Jakarta untuk diteruskan ke Beijing. Nota diplomatik itu berisi mengenai permintaan investigasi terhadap tindakan pelanggaran HAM di atas kapal tersebut.
Selain itu, Kemenlu meminta hak-hak ABK dipenuhi dan korban meninggal diberikan santunan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dengan melihat jejak rekam seperti itu, pemerintah Indonesia memang sewajarnya tegas terhadap agen pengirim ABK karena kejadian ini sudah berulang. Begitu pun terhadap perusahaan asal China yang sebelumnya sudah melakukan praktik perbudakan di atas kapal.