Bisnis.com, JAKARTA - Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson akan kembali bekerja normal di kantornya yang terletak di Downing Street, Senin (27/4/2020) hari ini.
Selain isu ekonomi akibat pandemi global COVID-19, Johnson dihadapkan pada tugas berat lain: merespons tingginya angka kekerasan terhadap perempuan.
Laporan terbaru Counting Dead Women menyebutkan sejak pemerintah Inggris menerapkan lockdown sudah ada 16 perempuan meregang nyawa akibat kekerasan dalam rumah tangga.
Seperti dilansir Bloomberg, pada periode yang sama tahun lalu ada lima korban meninggal akibat kekerasan rumah tangga. Artinya, kini tingkat kekerasan terhadap perempuan di Inggris naik tiga kali lipat.
Angka ini bisa saja akan terus bertambah bila pemerintah tak menindaklanjutinya dengan pernyataan atau kecaman tegas.
"Banyak perempuan yang saat ini ketakutan, berusaha bertahan di rumah dan tak memiliki tempat berlindung. Kami tak mau berkata bahwa laki-laki bersikap buruk karena corona. Yang ingin kami katakan adalah: lockdown sering dijadikan pembenaran untuk melakukan hal buruk," ujar Direktur Eksekutif Counting Dead Women, Fiona Dyer dalam pernyataan resminya.
Baca Juga
Fiona bukan satu-satunya yang merasakan kegelisahan tersebut. Dalam keterangan resminya pada 3 April 2020 lalu, Direktur Jenderal WHO Thedros Adhanom mengingatkan potensi serupa kepada seluruh negara yang menerapkan lockdown dan pembatasan sosial.
"Perempuan dalam hubungan abusif lebih rawan menjadi korban kekerasan, begitu pula anak-anak karena keluarga saat ini lebih banyak menghabiskan waktu bersama," ujar Adhanom seperti diwartakan Bloomberg.
Menteri Dalam Negeri Inggris, Victoria Atkins sempat mengatakan pemerintah memberi dukungan terhadap golongan rentan dengan menyediakan call center dan bantuan dana untuk sejumlah kampanye.
"Pemerintah mengutamakan perlindungan terhadap kaum rentan di tengah darurat sosial ini," tutur Atkins seperti dilansir BBC.
Kendati demikian, hingga kini banyak pihak menilai kesungguhan Atkins tak mendapat dukungan kuat dari orang-orang yang punya kewenangan lebih tinggi, termasuk PM Boris Johnson.
"Seharusnya para perempuan yang merasa tidak aman mendapat alternatif tempat tinggal yang lebih terjamin keselamatannya," ujar aktivis Sandra Horley.