Bisnis.com, JAKARTA – Awan gelap menggayuti dunia medis di India. Alih-alih menyematkan penghargaan pahlawan tanpa tanda jasa, masyarakat Negeri Hindustan justru melakukan kekerasan terhadap dokter-dokter yang tengah berjuang mengendalikan wabah penyakit virus Corona (Covid-19).
Kasus penyerangan dilaporkan di seantero negeri sebagian karena masyarakat panik tertular penyakit tersebut dari tenaga medis yang acapkali bersinggungan dengan pasien terinfeksi. Ada pula warga yang menyerang karena takut dicap telah terjangkit virus corona.
Di selatan kota Bengaluru, petugas kesehatan diserang ketika mereka sedang berkeliling dari rumah ke rumah untuk memeriksakan kondisi kesehatan para penghuni.
Di pusat kota Bhopal, dokter-dokter yang baru kembali dari tugas diberhentikan oleh polisi. Mereka dituduh telah menyebarkan corona dan dipukuli dengan tongkat. Kemudian di New Delhi, seorang dokter diserang oleh seorang warga di sebuah pasar buah lokal.
Kabar serupa juga terdengar di negara-negara lain seperti Australia dan Filipina, tetapi situasinya begitu buruk di India. Saking buruknya sampai pemerintah merilis pengumuman layanan publik yang berisikan permintaan untuk mengakhiri stigmatisasi.
"Ketika Anda menjadi dokter, Anda tahu ada risiko tertular infeksi," tutur Nirmalya Mohapatra, seorang dokter senior di sebuah rumah sakit umum di New Delhi, seperti dilansir dari Bloomberg, Selasa (14/4/2020).
Baca Juga
“Kami tidak takut akan infeksi, kami siap secara mental menghadapinya sebagai risiko pekerjaan. Tapi dipukuli, itu bukanlah sesuatu yang kami persiapkan secara mental. Itu bukan risiko pekerjaan yang bersedia kami tanggung [ketika memutuskan menjadi dokter],” ungkapnya.
Reaksi yang datang dari masyarakat berbagai kelas sosial, agama, kelompok bahasa dan geografi di negara itu membuat lebih sulit untuk memisahkan satu penjelasan mengapa tren ini meluas dan semakin intens di India.
Tapi ada beberapa faktor yang berkontribusi, antara lain kepercayaan yang sudah rendah pada sistem layanan kesehatan dan misinformasi di media sosial. Selain itu, lockdown nasional, yang diberlakukan hanya setelah pemberitahuan selama empat jam, telah meningkatkan histeria publik.
Pada saat yang sama, liputan media tentang bagaimana virus corona menyebar di sebuah organisasi keagamaan Islam di Delhi juga memicu ketegangan sektarian yang sudah meninggi.
Virus itu memainkan ketakutan yang mendalam tentang pengucilan sosial di sebuah negara yang terkenal dengan klasifikasi kastanya.
“Sistem kasta didasarkan pada gagasan tentang kemurnian dan pencemaran, apa yang murni dan apa yang tercemar, apa yang dapat disentuh dan apa yang tidak dapat disentuh,” jelas Priyasha Kaul, seorang sosiolog di Ambedkar University Delhi.
“Ini hampir bisa dilihat sebagai hal tak tersentuh baru, kategori baru orang-orang yang perlu ditakuti dan yang perlu dijauhi,” sambungnya.
Seperti di negara-negara lain, pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi telah mendorong masyarakat untuk mendukung para tenaga medis di garis depan dalam melawan virus corona.
Modi meminta para warga untuk datang ke rumah mereka tepat sebelum matahari terbenam pada akhir jam malam di bulan Maret untuk menggedor panci dan wajan bersama sebagai ungkapan terima kasih.
Namun, ketegangan telah meningkat karena pemerintah mengambil langkah-langkah yang lebih keras untuk mengatasi virus yang hingga Senin (13/4) telah menginfeksi 9.240 orang dan merenggut 331 nyawa ini.
India masih terkunci. Warga dilarang meninggalkan rumah mereka dengan alasan apa pun selain membeli makanan, obat-obatan atau dalam keadaan darurat.
Meski telah meningkatkan pengujian dalam beberapa hari terakhir, India masih hanya melakukan 0,13 tes per seribu orang, dibandingkan dengan 8 tes per seribu orang di AS dan hampir 10 tes di Korea Selatan, menurut data situs web Our World in Data.
Tingkat yang demikian rendahnya itu telah memicu kekhawatiran bahwa wabah corona bisa jauh lebih besar dari statistik resmi yang ditunjukkan.
Di gedung-gedung apartemen ataupun lingkungan di mana kasus corona ditemukan, larangannya bisa lebih parah. Warga dilarang meninggalkan rumah mereka sama sekali, dan harus diawasi terus menerus melalui kamera CCTV, drone, dan polisi.
Persediaan kebutuhan sehari-hari dikirimkan tepat di depan pintu mereka, tim pembersih datang secara teratur untuk menyemprotkan disinfektan, dan petugas kesehatan memantau kondisi penghuni jika memiliki gejala.
"Seperti halnya mereka mendiskriminasi dokter karena khawatir mereka membawa virus corona ke dalam komunitas dan bangunan tempat tinggal mereka, mereka mulai khawatir jika mereka terbukti positif mereka akan didiskriminasi oleh teman-teman dan masyarakat mereka sendiri,” tutur Vivekanand Jha, direktur eksekutif George Institute for Global Health, India.
Asosiasi Medis India, yang mewakili dokter-dokter di sektor swasta, telah mendesak adanya undang-undang untuk mempermudah mengajukan tuntutan atas serangan terhadap pekerja kesehatan.
“Dipukuli bukanlah hal yang mengenakkan, atau diusir dari rumah kita sendiri. Saya mendesak untuk memberikan hukuman terkeras kepada orang-orang macam itu,” ucap Rajan Sharma, Presiden IMA.
Lain hal dengan Sharma, Trupti Katdare, seorang dokter, memilih mengambil pendekatan yang berbeda. Pada suatu hari, dia dan timnya berhasil melacak seorang pria yang diduga melakukan kontak dengan penderita kasus virus Corona.
Ketika mereka menemukannya, orang itu mengutuk mereka dan menuduh mereka berusaha membawanya pergi. Dalam sekejap mata, sedikitnya 100 orang mengepung mereka dan melempari batu. Untungnya, mereka berhasil melarikan diri.
Namun, bersama timnya, Katdare memutuskan untuk kembali ke lingkungan itu keesokan harinya.
“Kami menjelaskan kepada mereka bahwa kami melakukan ini untuk menyelamatkan hidup mereka. Mereka pun menyadari kesalahan mereka dan meminta maaf,” kisahnya.