Bisnis.com, JAKARTA – Per Kamis (26/3/2020), tercatat sudah ada 893 pasien positif virus corona (COVID-19) di Indonesia.
Sebanyak 78 pasien di antaranya meninggal dunia, dan 35 orang lainnya telah dinyatakan sembuh. Dengan demikian, kasus aktif di Indonesia mencapai 780 pasien.
Tak hanya di Ibu Kota, kasus positif corona juga mulai meluas ke daerah-daerah lainnya.
Di Jakarta, jumlah pasien positif corona telah mencapai 459 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 29 orang telah sembuh, dan yang meninggal telah mencapai 48 orang.
Adapun, orang dalam pemantauan (ODP) di Ibu Kota sudah mencapai 1.850 orang.
Dari sisi regulasi, Indonesia sebetulnya memiliki aturan yang cukup kuat dalam penanganan kondisi saat ini, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Hanya saja, sampai kini belum ada aturan turunannya.
Baca Juga
Dalam UU tersebut, tertulis:
Pasal 1
Kekarantinaan Kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.
Pasal 3
Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan bertujuan untuk:
a. Melindungi masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat;
b. Mencegah dan menangkal penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat;
c. Meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan masyarakat; dan
d. Memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan petugas kesehatan.
Adapun, penyelenggaran kekarantinaan kesehatan di wilayah, sebagaimana di atur dalam Bab VII, adalah sebagai berikut:
Pasal 49
1. Dalam rangka melakukan tindakan mitigasi faktor risiko di wilayah pada situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dilakukan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau Pembatasan Sosial Berskala Besar oleh Pejabat Karantina Kesehatan.
2. Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan.
3. Karantina Wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Yang dimaksudkan dengan menteri di sini adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
Sejauh ini, pemerintah hanya menerapkan pembatasan sosial (social distancing).
Hal itu diputuskan pemerintah pada Minggu (15/3/2020). “Yang perlu dilakukan adalah penerapan pembatasan sosial (social distancing), yaitu mengurangi mobilitas orang dari satu tempat ke tempat lain, menjaga jarak, dan mengurangi kerumunan orang,” tegas Jokowi.
Sebagai wujud dari kebijakan tersebut, pemerintah mengimbau masyarakat untuk belajar di rumah, bekerja di rumah, dan beribadah di rumah.
UU No. 6/2018 juga mengatur hal itu. Namun, yang disebut dalam UU adalah ‘pembatasan sosial berskala besar’.
Pembatasan sosial berskala besar bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi antarorang di suatu wilayah tertentu.
Adapun, pembatasan sosial berskala besar tersebut paling sedikit meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Harus diakui bahwa kebijakan tersebut tidak begitu berdampak. Pasalnya, tidak semua tempat kerja meliburkan aktivitasnya. Aktivitas di tempat atau fasilitas umum juga masih terlihat ramai.
Yang paling kelihatan sejauh ini adalah peliburan sekolah dan pembatasan kegiatan keagamaan di sejumlah daerah, meskipun ada beberapa daerah yang masih melanggar.
Belakangan, istilah pembatasan sosial atau social distancing tersebut dipertajam lagi menjadi jaga jarak fisik (physical distancing).
Istilah physical distancing digagas oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO). Organisasi tersebut meminta agar istilah ini yang digunakan.
Di Indonesia, penggunaan frasa ‘physical distancing’ atau jaga jarak fisik jauh lebih dipahami ketimbang social distancing.
Dapat disaksikan di beberapa tayangan video yang beredar, bahwa masyarakat ramai-ramai meneriakkan kampanye ‘social distancing’. Akan tetapi, pada saat yang sama, mereka meneriakkan kampanye itu secara bersama-sama dalam kerumunan yang besar, dan tak ada jarak sama sekali.
“Narasi jaga jarak harus dipahami oleh semua orang. Kita harus fokus menyampaikan pesan ini ke publik soal apa itu jaga jarak. Dilarang berkerumun. Dilarang berdekatan. Hindari kerumunan. Selama rakyat tidak tahu social distancing dengan bahasa mereka atau bahasa rakyat, maka kebijakan ini tidak akan pernah berhasil,” ujar Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo, Senin (23/3/2020).
Apakah kebijakan ini cukup efektif? Jika dilihat dari sebaran virus corona yang kini telah mencapai daerah-daerah lain, dapat dikatakan imbauan pemerintah sejauh ini belum begitu efektif.
Praktik Lockdown di Negara Lain
Oleh karena itu, tak heran jika kemudian muncul opsi ‘lockdown’. Opsi ini diterapkan di sejumlah negara, tetapi disesuaikan dengan karakteristik negaranya masing-masing, atau dimodifikasi sesuai dengan kondisi di negara itu.
Kota Wuhan telah di-lockdown sejak Kamis (23/1/2020). Langkah yang dramatis ditempuh oleh pemerintah setempat tersebut membatasi membatasi pergerakan 60 juta orang di Provinsi Hubei ketika infeksi COVID-19 berada di luar kendali.
Kala itu, perjalanan udara dan kereta api dihentikan. Demikian juga dengan perjalanan kendaraan pribadi yang sangat dibatasi. Pemerintah juga melarang pertemuan besar dan mencegah orang keluar dari rumah mereka.
Perkantoran ditutup. Begitupun dengan persekolahan dan kampus. Area pertokoan ditutup kecuali yang menjual bahan makanan dan obat-obatan. Pada saat yang sama, petugas berdatangan ke rumah warga untuk mengecek kesehatan.
Dikutip dari BBC.com & Guardian.com, saat ini seperlima dari penduduk dunia atau 1,7 miliar orang telah ‘dikunci’ untuk menghindari wabah mematikan itu.
Hingga Kamis (26/3/2020), setidaknya sebanyak 16 negara telah melakukan lockdown dengan berbagai karakteristiknya, pun dengan istilahnya masing-masing.
Di Italia, negara yang melaporkan angka kematian tertinggi melampaui China, kebijakan lockdown secara nasional telah berlaku mulai Selasa (10/3/2020). Jumlah korban tewas di negara itu sudah lebih dari 7.500 orang.
Negara Spanyol menjadi negara Eropa kedua setelah Italia yang melakukan karantina secara nasional.
Otoritas Spanyol memberlakukan penguncian wilayah mulai 14 Maret 2020. Hingga hari ini, jumlah korban meninggal telah mencapai angka 3.434 jiwa di negara itu.
Adapun, pemerintah Inggris telah mengeluarkan kebijakan mengunci wilayahnya selama 3 pekan ke depan mulai Senin (23/3/2020). Per Kamis (26/3/2020), jumlah korban tewas di negara itu mencapai 463 orang.
Prancis memberlakukan lockdown mulai 16 Maret 2020 selama 15 hari. Jumlah korban meninggal per hari ini tercatat 1.331 jiwa. Dengan angka kematian sembilan orang hingga hari ini, seluruh wilayah Irlandia juga mulai dikunci.
Begitu pula dengan Polandia, Belgia, Belanda dan Denmark.
Di Asia, ada India, Filipina, Malaysia, Lebanon dan Yordania. Di negara Amerika Latin, terdapat negara El-salvador dan Argentina.
‘Lockdown’ di Indonesia
Kendati sebarannya begitu cepat, pemerintah telah menegaskan bahwa Indonesia tidak akan menerapkan kebijakan karantina wilayah atau lockdown.
“Pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi yang juga menginstruksikan ke saya, menegaskan tidak akan ada lockdown di Indonesia. Jawaban saya ini semoga bisa jadi kepastian bagi seluruh komponen masyarakat dan juga sahabat dari berbagai negara terutama yang berada di Jakarta,” ujar Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo, Sabtu (21/3/2020).
Dari sisi regulasi, memang tidak ada istilah lockdown. Yang ada hanyalah karantina. Karantina terbagi menjadi tiga, yakni karantina rumah, karantina rumah sakit, dan karantina wilayah. Lingkup karantina rumah dan karantina rumah sakit jauh lebih kecil.
Karantina rumah diatur dalam Pasal 50, 51 & 52 UU No. 6/2020. Adapun, karantina rumah sakit diatur dalam Pasal 56, 57, dan 58 UU No. 6/2020.
Untuk karantina wilayah, aturannya tertuang dalam tiga pasal sebagai berikut:
Pasal 53
(1) Karantina Wilayah merupakan bagian respons dari Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
(2) Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan kepada seluruh anggota masyarakat di suatu wilayah apabila dari hasil konfirmasi laboratorium sudah terjadi penyebaran penyakit antar anggota masyarakat di wilayah tersebut.
Pasal 54
(1) Pejabat Karantina Kesehatan wajib memberikan penjelasan kepada masyarakat di wilayah setempat sebelum melaksanakan Karantina Wilayah.
(2) Wilayah yang dikarantina diberi garis karantina dan dijaga terus menerus oleh Pejabat Karantina Kesehatan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berada di luar wilayah karantina.
(3) Anggota masyarakat yang dikarantina tidak boleh keluar masuk wilayah karantina.
(4) Selama masa Karantina Wilayah ternyata salah satu atau beberapa anggota di wilayah tersebut ada yang menderita penyakit Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang sedang terjadi maka dilakukan tindakan Isolasi dan segera dirujuk ke rumah sakit.
Pasal 55
(1) Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
(2) Tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait.
Berkaca pada aturan di atas, ketika pemerintah mengambil opsi tersebut, maka akan ada pengawasan yang sangat ketat terhadap daerah yang dikarantina. Wilayah tersebut akan dijaga oleh pejabat karantina kesehatan dan pihak kepolisian.
Selain itu, ketika mengarantina suatu wilayah, maka pemerintah pusat berkewajiban memenuhi kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina.
Lalu, bagaimana jika hal tersebut dilanggar? Pasal 93 dari UU itu mengatur bahwa setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta.
Nah, bagaimana menurut Anda? Perlukah kita mengarantina Ibu Kota sehingga semua orang berdiam diri di rumah, dan tidak menjadi carrier bagi orang lainnya?