Bisnis.com, JAKARTA - Wabah virus Corona di China telah menginfeksi lebih dari 70.000 orang dan mematikan sebagian besar ekonominya sejak pertama kali muncul di provinsi Hubei pada bulan Desember.
Epidemi ini juga memaksa jutaan orang tua di seluruh daratan China dan Hong Kong untuk berbagi ruang dengan anak-anak mereka yang terpaksa bersekolah di rumah karena institusi pendidikan dari tingkat dasar hingga universitas memperpanjang penutupan hingga Maret.
Ini adalah anugerah yang tak terduga untuk satu industri, pendidikan online, yang sekarang harus mencari cara bagaimana melibatkan siswa yang terbiasa dengan interaksi kelas.
Menurut laporan Bloomberg, di saat para orang tua menderita, perusahaan pendidikan online di China justru sedang terpana dengan nasib baik mereka.
Pendidikan online, yang sebelumnya merupakan segmen paling kompetitif dan terus 'membakar' uang, kini menjadi salah satu yang diuntungkan dari krisis kesehatan di negeri bambu.
Eric Yang, pendiri iTutorGroup yang berbasis di Shanghai, mengatakan jumlah kelas online yang diambil pada platformnya tiga kali lebih banyak dari tahun sebelumnya selama sepuluh hari pertama bulan Februari.
Baca Juga
Pertumbuhan sangat cepat di kota-kota yang lebih kecil di mana lebih banyak siswa sudah mengandalkan kelas les offline, katanya. Perusahaan ini dikendalikan oleh perusahaan asuransi terbesar di China, Ping An Insurance Group Co.
"Coronavirus mendefinisikan ulang sektor pendidikan online," kata Yang.
"Saya berharap kelas online akan melampaui bisnis bimbingan fisik dalam tiga tahun ke depan, tetapi sekarang saya pikir titik baliknya akan datang jauh lebih awal."
Saham perusahaan pendidikan China melonjak bulan ini seiring dengan penyebaran virus.
Dua yang paling menonjol adalah TAL Education Group dan New Oriental Education and Technology Group, masing-masing naik 19,2% dan 13,4% pada penutupan perdagangan Jumat (21/2).
Pangsa pasar untuk pendidikan online pada bisnis pendidikan online senilai 463 miliar yuan di China hanya sebesar 6,5% pada tahun 2018. Angka itu bisa melonjak menjadi 35,7% pada tahun 2023, menurut perusahaan konsultan bisnis Frost & Sullivan.
Menurut analis Citigroup Mark Li dalam sebuah catatan bulan ini, sekitar dua juta pelajar di China telah mendaftar kelas online dalam jangka pendek karena virus Corona.
Pengusaha Hong Kong, Ben Chu, 42 tahun, memiliki anak perempuan berusia sembilan tahun yang belajar di sekolah dasar internasional yang menggunakan aplikasi pendidikan Seesaw dan Google Classroom untuk memberikan tugas, berbagi bahan, dan mengumpulkan pekerjaan rumah.
"Belajar online adalah kompromi yang masuk akal khsusu pada waktu seperti ini," kata Chu. "Tapi itu tidak akan pernah menjadi pengganti ruang kelas, untuk pengalaman belajar tatap muka."
Adapun, Lu Yan, seorang dosen universitas berusia 39 tahun di provinsi Sichuan, mendaftar untuk kelas bahasa Inggris untuk dirinya sendiri dan putranya yang berusia 10 tahun melalui iTutorGroup.
“Secara pribadi saya masih lebih suka berbicara dengan siswa saya di kelas. Itu yang telah saya lakukan selama satu dekade terakhir," katanya.
Dirinya tidak akan terkejut bahwa semakin banyak kelas akan dipindahkan secara online, karena anak-anak di jaman modern dilahirkan dan tumbuh dengan internet.
Meski demikian, dorongan untuk permintaan platform pembelajaran online dapat surut dengan cepat setelah epidemi ini berlalu.
"Tidak ada jaminan bahwa lonjakan jangka pendek ini dapat berlanjuat menjadi pertumbuhan jangka panjang," kata Yvette Chan, direktur pelaksana konsultan Alvarez & Marsal yang berbasis di Hong Kong.
Dia menambahkan bahwa pengembang aplikasi perlu platform pembelajaran yang berkualitas tinggi agar siswa tetap belajar dari ruang kelas virtual.
Dampak dari epidemi virus juga dapat menyebabakn kejenuhan berlebih pada pasar pendidikan online setelah perusahaan rintisan baru hingga raksasa teknologi China seperti Alibaba Group Holding Ltd. ikut serta dalam tren ini.