Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

AS Awasi Praktik Mata Uang 3 Negara Asia Tenggara, Bagaimana Indonesia?

Departemen Keuangan Amerika Serikat (AS) menetapkan 10 mitra dagang yang dipandang patut mendapat pengawasan khusus atas praktik mata uang masing-masing. Tiga di antara 10 negara tersebut berasal dari Asia Tenggara.
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA – Departemen Keuangan Amerika Serikat (AS) menetapkan 10 mitra dagang yang dipandang patut mendapat pengawasan khusus atas praktik mata uang masing-masing. Tiga di antara 10 negara tersebut berasal dari Asia Tenggara.

Dalam laporan semi-tahunan yang dirilis Senin (13/1/2020) di Washington, Depkeu AS menyebutkan 10 mitra dagang utama yang masuk dalam pengawasan dugaan manipulasi nilai tukar mata uang mereka untuk memperoleh keuntungan ekspor atas AS.

Di antara kesepuluh negara itu tercantum Singapura, Malaysia, dan Vietnam. Untuk kedua kalinya, setelah laporan pada Mei 2019, ketiga negara Asia Tenggara ini masuk dalam daftar pengawasan Departemen Keuangan AS.  

Depkeu AS menetapkan tiga kriteria dalam mempertimbangkan suatu negara masuk ke dalam daftar pengawasan. Kriteria pertama yang diperhatikan adalah surplus perdagangan barang selama 12 bulan dengan AS senilai setidaknya US$20 miliar.

Dua kriteria lainnya adalah surplus transaksi berjalan yang setara dengan minimal 2 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan intervensi terus-menerus di pasar mata uang suatu negara.

Negara yang memenuhi dua dari tiga kriteria tersebut berisiko masuk ke dalam daftar pengawasan praktik mata uang oleh Depkeu AS.

Dilansir Bloomberg, Vietnam ditemukan melanggar hanya satu dari tiga kriteria dalam laporan terbaru, setelah dinilai melanggar dua kriteria dalam laporan pada Mei 2019.

Vietnam mencatat surplus perdagangan barang dengan AS senilai US$47 miliar atau tertinggi keenam di antara mitra dagang utama AS. Meski demikian, surplus transaksi berjalan Vietnam melemah menjadi di bawah 2 persen dari PDB.

Sementara itu, baik Singapura maupun Malaysia dinilai melanggar dua dari tiga kriteria yang ditetapkan Depkeu AS. Malaysia mencatatkan surplus barang bilateral senilai US$26 miliar dan surplus transaksi berjalan 3 persen dari PDB.

Menariknya, negara lain di Asia Tenggara seperti Thailand, yang berpeluang masuk ke dalam daftar tersebut, justru dikesampingkan.

Surplus perdagangan barang Thailand dengan AS melonjak melampaui angka kritis US$20 miliar dalam 12 bulan hingga November, menurut data Biro Sensus AS, sementara surplus transaksi berjalannya melebihi 2 persen dari PDB.

Namun, lonjakan nilai tukar baht sebesar hampir 9 persen terhadap dolar AS pada 2019, terkuat di Asia, menunjukkan kecilnya kemungkinan bagi Thailand untuk mencoba memanipulasi nilai tukar mata uangnya.

Dalam suatu wawancara, gubernur Bank Sentral Thailand menyatakan "tidak ada yang harus mempertimbangkan Thailand sebagai salah satu yang telah mencoba memanipulasi" nilai tukarnya untuk memperoleh keuntungan ekspor.

Selain Thailand, negara di Asia Tenggara yakni Indonesia dan Filipina juga tak tercantum dalam daftar pengawasan Departemen Keuangan AS.

Adapun, 10 negara dalam daftar pengawasan adalah China, Jerman, Irlandia, Italia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Swiss, dan Vietnam, seperti dikutip dari laman resmi Departemen Keuangan AS.

Dalam laporan ini, Departemen Keuangan AS meninjau dan mencermati kebijakan 20 mitra dagang utama AS serta menilai perkembangan selama beberapa bulan terakhir dengan China berikut praktik mata uangnya.

Laporan Depkeu AS pada akhirnya menyimpulkan bahwa walaupun praktik mata uang dari 10 negara tersebut dinilai membutuhkan pengawasan khusus, tidak ada mitra dagang utama AS saat ini yang memenuhi kriteria relevan untuk manipulasi mata uang.

Alih-alih, Depkeu AS mencabut label untuk China sebagai manipulator mata uang, yang disematkan pada Agustus 2019, karena berkomitmen untuk tidak mendevaluasi yuan dan telah sepakat untuk mempublikasikan informasi nilai tukar.

"China telah membuat komitmen yang dapat ditegakkan untuk menahan diri dari devaluasi kompetitif, sembari mendorong transparansi dan akuntabilitas," ujar Menteri Keuangan Steven Mnuchin dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip Bloomberg.

Keputusan ini diumumkan dua hari menjelang penandatanganan perjanjian perdagangan fase pertama AS-China di Washington pada Rabu, 15 Januari, waktu setempat.

Laporan Depkeu AS tersebut diketahui sempat tertunda hingga komitmen China mengenai nilai mata uang disepakati.

"Departemen Keuangan telah membantu mengamankan perjanjian Fase Satu yang signifikan dengan China yang akan mengarah pada pertumbuhan ekonomi dan peluang lebih besar bagi pekerja dan bisnis Amerika," tambah Mnuchin.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper