Kabar24.com, JAKARTA — Revisi Undang-undang terkait dengan persaingan usaha perlu memberikan kesempatan perbaikan hukum formil atau hukum acara dalam perkara antitrust.
Asep Ridwan, Ketua Umum Indonesia Competition Lawyer Association (ICLA) mengungkapkan bahwa ketentuan mengenai hukum acara, mekanisme dan proses upaya hukum terhadap putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Hak-hak terlapor di tingkat KPPU atau pengadilan menurutnya perlu dikaji ulang kembali.
“Hukum Acara di RUU saat ini cenderung hanya mengadopsi peraturan yang dibuat oleh KPPU,” ujarnya dikutip Jumat (22/11/2019).
Dia menambahkan, hukum formil atau hukum acara merupakan elemen yang tidak kalah penting dari hukum materil karena hukum materil hanya dapat ditegakkan dengan benar dan adil apabila hukum formilnya juga memenuhi prinsip-prinsip due process of law.
Perbaikan hukum acara, lanjutnya, perlu dilakukan karena Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada Pasal 10 menyebutkan bahwa setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil dan terbuka, bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan yang dijatuhkan kepadanya.
Selain itu, kovenan hak sipil dan politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005 menyebutkan dalam Pasal 14 tentang persamaan semua orang di depan pengadilan dan badan peradilan, hak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh badan peradilan yang kompeten, bebas dan tidak berpihak.
Karena itu, ICLA, menyampaikan beberapa usulan dalam revisi UU Persiangan Usaha mulai dari kewenangan KPPU, masukan terkait pengadilan yang memeriksa upaya hukum terhadap putusan KPPU termasuk jangka waktu pemeriksaan keberatan atas putusan 30 hari yang dianggap terlalu singkat, serta jaminan hak-hak terlapor dalam proses pemeriksaan di KPPU atau pengadilan.
“Terkait kewenangan, ada dua pilihan yakni KPPU sebagai lembaga penegak hukum yang melakukan penyelidikan dan penuntutan, sedangkan kewenangan untuk memutus perkara diserahkan kepada lembaga peradilan,” jelasnya.
Pilihan lainnya, KPPU tetap sebagai lembaga administratif dengan kewenangan memutus, namun diberikan kesempatan yang luas bagi pelaku usaha pada saat mengajukan upaya hukum terhadap putusan KPPU termasuk mengajukan bukti-bukti di pengadilan.
Sementara perihal pemeriksaan keberatan atas putusan KPPU menurutnya semestinya dilakukan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) ketimbang Pengadilan Negeri sebagaimana yang terjadi selama ini. Pasalnya, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 85/PUU-XIV/2016, maka KPPU adalah lembaga administratif di bawah eksekutif.
Adapun pertimbangan pemeriksaan keberatan mesti dilakukan di PTUN karena hubungan hukum antara KPPU dengan pihak yang diperiksa merupakan hubungan hukum yang tidak sederajat, UU Persaingan Usaha merupakan hukum publik, bukan hukum perdata yang privat, pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk menguji keputusan lembaga administratif adalah PTUN, serta sistem pembuktian hukum persaingan usaha mencari kebenaran materiil, sedangkan pembuktian dalam perkara perdata mencari kebenaran formil.
“Hukum Acara pemeriksaan di PTUN dapat diberlakukan untuk perkara persaingan usaha, kecuali hal-hal yang ditentukan lain dalam UU Persaingan Usaha dan PTUN dapat mempunyai kamar tersendiri untuk memeriksa dan mengadili perkara persaingan usaha yang ditangani oleh hakim-hakim yang memahami hukum persaingan usaha,” katanya.
Alternatif lainnya, pengujian keberatan atas putusan KPPU dapat dilakukan di Pengadilan Niaga karena merupakan pengadilan untuk memeriksa perkara bisnis atau komersial. Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU No. 5/1999, kataa dia, termasuk di bidang komersial atau bisnis, di mana Pengadilan Niaga merupakan pengadilan yang berwenang untuk menangani sengketa di bidang komersial.
Jika Pengadilan Niaga menjadi alternatif, maka hukum acara pengajuan keberatan ke Pengadilan Niaga perlu diatur secara khusus dalam amendemen UU No. 5/1999.
Sebagai contoh dalam gugatan merek, Pengadilan Niaga dapat menerima gugatan pihak yang keberatan atas Putusan Dirjen Hak Kekayaan Intelektual dengan jangka watu pemeriksaan 90 hari ditambah 30 hari.
“Beberapa hal dalam RUU Persaingan Usaha saat ini perlu dikaji kembali dan memberikan ruang masukan yang luas terhadap para pemangku kepentingan termasuk para praktisi dan kalangan dunia usaha. Oleh karena itu, usul RUU Persaingan Usaha saat ini tidak dilanjutkan atau carry over begitu saja,” pungkasnya.