Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Penyakit Pes Serang Warga Mongolia Dalam

Komisi kesehatan wilayah otonomi tersebut menyampaikan bahwa pria berusia 55 tahun didiagnosis menderita penyakit itu setelah memakan daging kelinci liar pada 5 November.
Mongolia/Reuters
Mongolia/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Mongolia Dalam yang masuk otonomi China baru-baru ini melaporkan penemuan kasus baru terkait dengan kemunculan penyakit pes di wilayah tersebut.

Dilansir dari Reuters, Minggu (17/11/2019), komisi kesehatan wilayah otonomi tersebut menyampaikan bahwa pria berusia 55 tahun didiagnosis menderita penyakit itu setelah memakan daging kelinci liar pada 5 November.

Wabah pes merupakan bentuk wabah yang paling umum di dunia dan dapat menyebar cepat ke paru-paru. Sementara menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), wabah pneumonia merupakan jenis wabah yang terparah.

Kasus yang terjadi di Mongolia Dalam tersebut menyusul dua kejadian yang terjadi awal November di Beijing. Dalam kedua kasus itu, dua pasien dari Mongolia Dalam dikarantina setelah didiagnosis mengidap wabah pneumonik.

Komisi kesehatan Mongolia Dalam mengatakan sejauh ini tidak menemukan bukti untuk menghubungkan kasus terbaru dengan dua kasus sebelumnya di Beijing.

"Pasien di Mongolia Dalam sekarang diisolasi dan dirawat di sebuah rumah sakit di Ulanqab," kata komisi kesehatan.

Sebanyak 28 orang yang melakukan kontak dekat dengan pasien saat ini diisolasi dan di bawah pengamatan, dan komisi mengatakan tidak ada gejala abnormal yang ditemukan pada mereka.

Wabah pes di China jarang terjadi, tetapi sebagian besar kota barat laut Yumen pernah ditutup pada 2014 setelah seorang warga berusia 38 tahun meninggal karena wabah pes, yang dikenal sebagai "Kematian Hitam" pada Abad Pertengahan dan disebabkan oleh bakteri yang sama.

Sementara itu, populasi tikus juga meningkat di Mongolia Dalam setelah kekeringan berkepanjangan, yang diperburuk oleh perubahan iklim. Menurut pemberitaan Xinhua, wilayah seukuran Belanda itu dilanda "wabah tikus" pada musim panas lalu dan menyebabkan kerugian 600 juta yuan atau sekitar US$86 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper