Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan mantan Direktur Utama Perum Jasa Tirta II Djoko Saputro, Senin (30/9/2019).
Djoko ditahan usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka terkait kasus dugaan korupsi pengadaan pekerjaan jasa konsultasi di Perum Jasa Tirta II tahun 2017.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan bahwa Djoko Saputro ditahan di rumah tahanan (rutan) cabang KPK di Pomdan Jaya Guntur. "Ditahan 20 hari pertama," kata Febri saat dikonfirmasi.
Djoko keluar dari lobi Gedung Merah Putih sekira pukul 17.30 WIB dengan mengenakan rompi oranye dan tangan terborgol. Dengan gontai menuju mobil tahahan, dia enggan menjawab terkait penahanannya.
Dalam kasus ini, Djoko Saputro dan Andririni Yaktiningsasi selaku swasta ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan pekerjaan jasa konsultasi di Perum Jasa Tirta II tahun 2017.
Djoko Saputro usai diangkat menjadi Direktur Utama Perum Jasa Tirta II pada 2016, diduga menginstruksikan agar melakukan revisi anggaran di perusahaan BUMN itu.
Revisi anggaran kemudian dilakukan dengan mengalokasikan tambahan anggaran pada pekerjaan pengembangan SDM dan strategi korporat yang pada awalnya senilai Rp2,8 miliar menjadi Rp 9,55 miliar.
Pada relokasi anggaran untuk Perencanaan Strategis Korporat dan Proses Bisnis senilai Rp3,82 miliar, sedangkan perencanaan komprehensif pengembangan SDM Perum Jasa Tirta II sebagai Antisipasi Pengembangan Usaha Perusahaan Rp5,73 miliar.
KPK menduga perubahan tersebut dilakukan tanpa adanya usulan bank dan unit lain dan tidak sesuai aturan yang berlaku.
Setelah revisi anggaran, Djoko pun memerintahkan Andririni Yaktiningsasi menjadi pelaksana pada kegiatan tersebut. Dalam dua kegiatan itu, Andririni diduga menggunakan bendera perusahaan PT Bandung Management Economic Center dan PT 2001 Pangripta.
Realisasi penerimaan pembayaran untuk kedua pelaksanaan proyek sampai dengan tanggal 31 Desember 2017 itu sebesar Rp5.564.413.800.
Rinciannya, Pekerjaan Komprehensif Pengembangan SDM PJT II sebagai Antisipasi Pengembangan Usaha Perusahaan sebesar Rp3.360.258.000 dan Perencanaan Strategis Korporat dan Proses Bisnis sebesar Rp2.204.155.8410.
KPK menduga pelaksanaan lelang dilakukan menggunakan rekayasa dan formalitas lantaran adanya penanggalan dokumen administrasi lelang secara backdate atau penanggalan mundur.
Tak hanya itu, KPK juga menduga nama-nama para ahli yang tercantum dalam kontrak hanya dipinjam dan dimasukkan ke dalam dokumen penawaran PT BMEC dan PT 2001 Pangripta sebagai formalitas untuk memenuhi administrasi lelang.
Akibat kasus ini, kerugian negara mencapai sekitar Rp3,6 miliar yang perhitungannya berasal dari keuntungan yang diterima Andririni dari kedua pekerjaan tersebut atau setidaknya lebih dari 66 persen dari pembayaran yang telah diterima.
Djoko Saputro dan Andririni disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Ajukan Praperadilan
Dalam perkembangan lain, Djoko meminta KPK menyerahkan berkas perkaranya ke Kepolisian.
Permintaan itu menyusul praperadilan yang diajukan Djoko terkait kasus dugaan korupsi pengadaan pekerjaan jasa konsultansi di Perum Jasa Tirta II tahun anggaran 2017.
Djoko mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 115/Pid.Pra/2019/PN JKT.SEL.
"Memerintahkan kepada termohon [KPK] untuk menyerahkan seluruh berkas perkara dan penanganan pemeriksaan perkara pidana ini kepada Kepolisian Resor Purwakarta," tulis isi petitum permohonan.
Dalam isi petitum, Djoko selaku pemohon menyatakan bahwa penetapan tersangka dirinya berdasarkan surat Nomor: B 1061/DIK.00/23/11/2018, perihal Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) pada 29 November 2018 dinilai tidak sah.
Selain itu, dia juga meminta KPK mengembalikan harkat dan martabat pemohon dalam hal ini Djoko Saputro seperti semula.
"Yang Mulia Hakim Pra Peradilan yang memeriksa perkara ini berpendapat lain, mohon memberikan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)," tulis petitum.
Persidangan praperadilan akan kembali digelar pada Senin (14/10/2019), setelah pada sidang perdana sebelumnya KPK selaku tergugat tidak menghadiri persidangan.