Kabar24.com, JAKARTA — Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode Muhammad Syarif kecewa kewenangan pimpinan KPK bakal diambil alih oleh Dewan Pengawas.
Di satu sisi, kata Laode, status pimpinan KPK tidak lagi sebagai penegak hukum karena status komisioner selaku penyidik dan penuntut umum dilucuti melalui revisi UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Di sisi lain, Dewas KPK malah berwenang menyetujui atau tidak proses penyadapan, penggeledahan, hingga penyitaan.
"Dalam bayangan kami, Dewas KPK tak terlibat persetujuan pekerjaan KPK. Tapi sekarang Dewas sebagai pemberi izin melalui gelar perkara seperti yang selama ini dilakukan pimpinan," katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (19/9/2019).
Dengan kewenangan tersebut, tambah Laode, kerja Dewas KPK justru tidak diawasi. Sebaliknya, pemimpin KPK dalam UU lawas diawasi baik secara internal maupun eksternal.
"Katanya dengan revisi UU KPK, ingin agar KPK ada yang kontrol. Tapi Dewas tidak ada yang mengontrol," katanya.
Dalam UU KPK anyar, Dewas KPK beranggotakan lima orang dan dipilih oleh Presiden. Penjaringan jajaran Dewas KPK dilakukan oleh panitia seleksi.
Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti menilai hasil revisi UU KPK mencantumkan kewenangan begitu besar kepada Dewas KPK. Dengan demikian, fungsi pimpinan KPK tak lebih hanya di bidang pencegahan tindak pidana korupsi.
"Pimpinan tidak punya otoritas penegakan hukum. Hanya untuk gelar pelatihan dan bikin modul," kata Bivitri.
Pada Selasa (17/9/2019), DPR mengesahkan revisi UU KPK yang memantik kontroversi di tengah masyarakat. Namun, beleid tersebut belum diundangkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.