Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo telah menjawab revisi Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan beberapa poin catatan. Ada yang diterima ada pula tidak.
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengatakan bahwa ada poin yang dia soroti di perubahan. Pertama tidak ada lagi penyidik dan penyelidik independen.
Baginya, unsur di luar kepolisian dan kejaksaan harus ada. Ini juga sudah diperkuat melalui putusan Mahkamah Konstitusi.
“Sehingga biarkan penyidik dan penyelidik independen ada bersama penyidik dan penyelidik dari kepolisian dan kejaksaan. Justru dengan adanya kompetisi tiga sumber ini, bisa melahirkan perlomba-lombaan dalam kebaikan,” katanya saat ditemui di ruangannya, Jumat (13/9/2019).
Kedua, jelas Mardani, soal keberadaan dewan pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka harus betul-betul melindungi KPK dari berbagai serangan, bukan malah memperpanjang pekerjaan.
“Saya melihat niat keberadaan dewan pengawas diambil oleh presiden berisi para pengamat dan macam-macam, buat saya masih bisa didiskusikan. Tapi garis tegasnya tidak boleh jadi kepentingan politik,” jelasnya.
Terakhir, yang menjadi isu besar yaitu penyadapan yang harus mendapat izin. Mardani melihat tidak perlu KPK harus meminta restu dari pihak manapun untuk menyadap.
“Yang juga tidak diperlukan durasi 3 bulan [batas penyadapan]. Untuk kasus besar, tidak bisa penyadapan hanya 3 bulan. Bisa 6 bulan, bisa setahun. Biarkan saja selama ada perkembangan,” ucapnya.
Setidaknya ada empat poin yang tidak setujui Jokowi dalam revisi UU 30/2002.
Pertama, Jokowi mengaku tidak setuju jika KPK harus meminta izin dari pihak eksternal, misalnya ke pengadilan, untuk melakukan penyadapan. Menurutnya, KPK cukup meminta izin internal dari dewan pengawas untuk menjaga kerahasiaan.
Kedua, Jokowi mengaku tidak setuju jika penyelidik dan penyidik KPK hanya berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan saja. Menurutnya, penyelidik dan penyidik KPK bisa juga berasal dari unsur aparat sipil negara (ASN), pegawai KPK maupun instansi lainnya. Tentu saja, menurutnya, harus melalui prosedur rekrutmen yang benar.
Ketiga, Jokowi menyatakan tidak setuju bahwa KPK wajib berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam penuntutan. Menurutnya, sistem penuntutan yang berjalan saat ini sudah baik sehingga tidak perlu diubah lagi.
Keempat, Jokowi menyatakan tidak setuju perihal pengelolaan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) yang dikeluarkan dari KPK diberikan kepada kementerian atau lembaga lain. Jokowi meminta LHKPN tetap diurus oleh KPK sebagai mana yang telah berjalan selama ini.