Kabar24.com, JAKARTA — Presiden Joko Widodo dinilai ingkar janji terhadap upaya pemberantasan korupsi menyusul dikirimkannya Surat Presiden (Surpres) terkait dengan revisi UU KPK ke DPR pada Rabu (11/9/2019).
Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana dalam keterangannya mengatakan langkah Jokowi dalam mengirim Surpres yang sebelumnya ditentang banyak pihak patut disesalkan.
"Tentu ini menunjukkan ketidakberpihakan Presiden pada penguatan KPK dan pemberantasan korupsi," kata Kurnia, Kamis (12/9/2019).
Kurnia mengatakan setidaknya ada empat catatan penting dalam menanggapi sikap Jokowi yang telah mengirimkan Surpres ke DPR.
Pertama, Jokowi dinilai tergesa-gesa dalam mengirimkan Surpres ke DPR tanpa adanya pertimbangan yang matang. Padahal, lanjut Kurnia, berdasarkan Pasal 49 ayat (2) UU No. 12 tahun 2011 menyebutkan bahwa Presiden memiliki waktu tenggat waktu 60 hari kepada sebelum menyepakati usulan UU dari DPR.
"Harusnya waktu [yang diberikan] itu dapat digunakan oleh Presiden untuk menimbang usulan DPR yang sebenarnya justru melemahkan KPK," katanya.
Kedua, Presiden dinilai abai dalam mendengarkan aspirasi publik mengingat tidak sedikit elemen masyarakat yang menentang RUU KPK, baik kalangan akademisi, organisasi, dan pelbagai tokoh lain.
Ketiga, ICW menilai Presiden Jokowi ingkar janji tentang penguatan KPK dan keberpihakan pada isu antikorupsi mengingat tidak sesuai dengan poin 4 Nawa Cita Presiden Joko Widodo yang menyebut menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.
"Dengan Presiden menyepakati revisi UU KPK usulan dari DPR ini rasanya Nawa Cita Presiden sama sekali tidak terlihat," ujarnya.
Terakhir, Jokowi juga dinilai mengabaikan prosedur formil dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, Pasal 45 UU No. 12 tahun 2011 telah mensyaratkan bahwa revisi UU harus masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Selain itu, berdasarkan tata tertib Pasal 112 (1) jo Pasal 113 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa rancangan undang-undang sebagaimana disusun berdasarkan Prolegnas prioritas tahunan.
"Jika melihat faktanya, revisi UU KPK tidak masuk dalam prolegnas prioritas."
Kurnia juga menyatakan bahwa sebagian isi draf revisi tersebut dinilai hanya melemahkan lembaga itu. Hal tersebut juga berdasarkan catatan ICW bahwa sejak revisi ini mulai digulirkan pada tahun 2010 hampir keseluruhan naskah yang beredar selalu diisi oleh pelemahan-pelemahan pada KPK.
"Lagi pun harusnya Presiden memahami bahwa narasi penguatan KPK yang kerap diutarakan oleh DPR tidak pernah terbukti," katanya.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif meminta adanya pertemuan dengan pemerintah dan DPR untuk melihat lebih jauh pasal mana saja yang akan direvisi di draf RUU KPK.
"Pimpinan KPK akan minta bertemu dengan Pemerintah dan DPR karena kami tidak mengetahui pasal-pasal mana saja yang akan direvisi?," ujar Wakil Ketua Laode M Syarif, Kamis (12/9/2019).
Laode mengaku sangat menyesalkan dengan sikap pemerintah dan DPR yang terkesan menyembunyikan sesuatu dalam membahas rencana revisi UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Tidak ada sedikitpun transparansi dari DPR dan Pemerintah."
Menurut Laode, dengan sikap tersebut maka akan menjadi preseden buruk dalam ketatanegaraan Indonesia di mana DPR dan Pemerintah dinilai berkonspirasi secara diam-diam untuk melucuti kewenangan suatu lembaga dalam hal ini KPK.
Alasannya, tak ada sedikitpun pemberitahuan atau konsultasi ke lembaga antirasuah tentang hal-hal apa saja yang akan direvisi dari undang-undang yang Pemerintah dan DPR rencanakan tersebut.
"Ini jelas bukan adab yang baik."
Rencana revisi UU No. 30/2002 tentang KPK sebelumnya disepakati semua fraksi sebagai RUU atas usulan inisiatif badan legislatif DPR untuk kemudian dibahas bersama pemerintah.
Diberitakan Bisnis, Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan Surpres yang dikirim Presiden Jokowi ke DPR.
Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) revisi UU KPK oleh DPR juga dinilai banyak yang direvisi oleh Pemerintah.
Pratikno menekankan perumusan UU harus disepakati bersama antara pemerintah dengan DPR kendati lembaga legislatif itu memiliki kewenangan dalam merumuskan produk perundang-undangan.
Hal tersebut merujuk pada penekanan Jokowi yang selalu menekankan bahwa KPK merupakan sebuah lembaga independen yang memiliki kelebihan-kelebihan dibandingkan lembaga pemberantasan korupsi lainnya.
Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan pemerintah hanya menyetujui separuh dari RUU KPK. Salah satu isyarat yang disetujui adalah pembentukan Dewan Pengawas dan penerbitan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3).