Bisnis.com, JAKARTA - Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menilai pola penyebaran hoax atau berita bohong berbeda antara pada Pilpres 2014 dan 2019.
Presidium Mafindo Anita Wahid mengatakan penyebaran hoax mulai berlangsung pada Pilpres 2014. Kemudian dilanjutkan pada Pilkada DKI 2017. Penyebaran berlanjut pada 2018 dan terakhir di Pilpres 2019.
Namun ada perbedaan hoax saat dua Pilpres terakhir berlangsung. Penyebaran kabar bohong hanya berlangsung satu arah pada 2014. Sedangkan saat Pilpres tahun ini, hoax dilakukan dua arah.
"Hoax pada 2014 pertama kalinya dan orang-orang sampai kaget. Penyebaran hoax di 2019 sudah 2 arah. Jadi tim 01 dan 02 saling lempar hoax," katanya saat focus group discussion tentang hoax dalam pemilu tahun 2019 di Gedung KPU RI, Jakarta, Selasa (20/8/2019).
Selain itu hoax juga mempengaruhi elektabilitas pasangan calon pada Pilpres 2014. Sementara itu, saat pemilihan presiden tahun ini, kabar bohong tidak mengganggu seluruh calon baik pasangan 01 maupun 02 .
Menurutnya, proses penyebaran berita hoax saat Pilpres 2019 tidak ditujukan untuk menurunkan elektabilitas kandidat. Akan tetapi, hoax hanya untuk memelihara kecencian selama 5 tahun sebelumnya.
Baca Juga
Di sisi lain, kabar hoax juga menyerang penyelenggara Pemilu. Pada Pilpres sebelumnya, hoax hanya dilakukan pada hari pencoblosan. Sementara itu tahun ini, hoax untuk penyelenggara dilakukan jauh hari sebelum waktu pemilihan.
Beberapa kabar bohong yang disebar selama proses Pilpres seperti Ketua KPU merupakan saudara kandung Soe Hok Gie, sistem KPU mudah dibobol, KPU selenggarakan pelatihan untuk tenaga China dan KPU diancam bunuh jika tidak memilih pasangan tertentu.
"Menurut kami sebelum masuki tahahan Pemilu berikutnya, PR terbesarnya adalah melakuka sosialisasi dampak hoax yang lalu. Sebagian masih mengambil pola pikir pemilihan lalu," katanya.