Bisnis.com, JAKARTA — Candaan, sindiran ringan, serta logat dan ekspresi khas Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri dalam pidatonya di Kongres Nasional V PDI Perjuangan di Bali, Kamis (8/8/2019), tengah menjadi sorotan.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai hal tersebut menunjukkan betapa suasana hati Megawati tengah berbahagia.
“PDIP sudah menang pemilu, Pileg dan Pilpres bersamaan pula. Pasti senang, ada euforia tersendiri. Ya, memang kan, perjuangannya berbuah manis,” ungkap Adi kepada Bisnis, Kamis (8/8/2019).
Dalam beberapa gurauan yang dilontarkan Presiden RI ke-5 ini, Adi menyoroti dua hal. Pertama, terkait kehadiran Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, yang seakan menjadi bintang, sebab namanya kerap disebut-sebutcoleh Megawati.
“Kehadiran Prabowo itu menandakan keterbukaan Gerindra untuk berkoalisi makin terbuka. Buktinya PKS tidak diundang, PAN dan Demokrat juga tidak ada,” tambah Adi.
Kedua, terkait dengan keberanian Megawati secara terang-terangan meminta jatah kursi menteri di kabinet Jokowi-Ma'ruf untuk PDIP.
Hal ini menarik disimak lebih lanjut, sebab bahasan ini tengah dihindari karena menjadi hal sensitif di kalangan partai koalisi. Alhasil, pidato Megawati menjadi awal pemecah kesunyian tersebut.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai pilihan kata dalam pidato Megawati begitu menohok. Dengan guyonan khasnya, pidato ini secara tersirat ingin mengeluarkan kapasitasnya sebagai politisi senior, yang kualitasnya tak bisa diragukan.
Selain itu, menurut Ujang selingan-selingan dari pidato Megawati memiliki banyak makna dan kemungkinan. Misalnya, guyonannya ke Prabowo soal bersaing di Pemilu 2024, tidak bisa diartikan secara harfiah. Bisa jadi Megawati hanya ingin mencairkan suasana.
“Politik itu sendiri bisa dimaknai seni kemungkinan. Jadi mungkin bersaing di 2024, mungkin juga berkoalisi. Semua tergantung pada dinamika dan perkembangan politik nanti,” kata Ujang kepada Bisnis.
Di sisi lain, menurut Ujang ada pula guyonannya yang kemungkinan berbau serius. Seperti sindirannya ke Presiden Jokowi dan partai politik koalisi soal menteri.
Menurut Ujang, Megawati secara tersirat justru ingin mengingatkan bagaimanpun soal penyusunan kabinet itu hak prerogatif presiden. Hanya Jokowi yang bisa menentukan, siapa mendapat apa, di posisi mana, dan juga berapa banyak menterinya.
Tapi, jangan sampai saking banyaknya yang meminta jatah untuk berkompromi, PDIP jadi pihak yang 'mengalah'. Sepertinya, Megawati tahu betul masalah kabinet ini akan menjadi momok biang perpecahan di antara partai koalisi.
Terakhir, sindirannya ke 'baju hijau' atau PPP dan Airlangga Hartarto yang mewakili Golkar, bisa jadi memang ungkapan sebal terhadap Golkar, sebab pernah PDIP memang pernah 'dikibuli' oleh dua partai tersebut seperti kata Megawati.
“PDIP memang kesal pada Golkar. Pada tahun 2014 UU MD3 direvisi dan motor revisinya Golkar. Posisi ketua DPR yang tadinya diberi kepada pemenang pemilu, diubah menjadi pemilihan. Akhirnya yang menang Novanto dari Golkar,” ungkap Ujang.
Kendati demikian, justru ungkapan kejujuran Megawati inilah yang sanggup menjadi pembelajaran sejarah perpolitikan bagi masyarakat. Kejujuran terhadap masa lalu ini juatru patut ditertawakan, agar tak ada lagi beban-beban yang tersisa ketika menatap masa depan.