Bisnis.com, JAKARTA -- Output pabrikan Jepang mengalami penurunan terparah dalam satu setengah tahun terakhir, menambah indikator yang menguatkan pelemahan pertumbuhan global, dampak merusak dari perang dagang AS-China.
Angka yang dirilis pemerintah, sesaat sebelum Bank Sentral Jepang mengumumkan keputusan moneter bulan ini, menunjukkan output industri Jepang tercatat turun sebesar 3,6% pada Juni, lebih tinggi dari median proyeksi pasar pada kisaran penurunan 2,0%.
Ini merupakan pelemahan terburuk sejak Januari 2018 yang diikuti dengan pertumbuhan 2,0% pada bulan sebelumnya.
Para produsen yang disurvei oleh pemerintah cukup optimistis untuk perkiraan berikutnya di mana mereka memproyeksikan pertumbuhan 2,7% pada Juli dan 0,6% pada Agustus, memberikan harapan bahwa permintaan domestik yang kuat akan menutupi beberapa kelemahan dalam pengiriman luar negeri.
"Laju pertumbuhan output industri tengah melemah," mengutip pernyataan pemerintah yang tetp menjaga penilaiannya pada output pabrik tidak berubah, seperti dilansir melalui Reuters, Selasa (30/7/2019).
Secara kuartalan, output pabrikan Jepang tercatat naik sebesar 0,5% pada kuartal kedua tahun ini setelah sempat merosot 2,5% pada kuartal sebelumnya.
Tidak hanya di Jepang, kegiatan produksi manufaktur turut melemah secara global di tengah ketegangan sengketa dagang yang terus melukai sentimen bisnis hingga memaksa IMF memangkas proyeksi pertumbuhan global dan mendorong bank sentral untuk merilis stimulus tambahan.
Pada kesempatan konferensi pers terkait kebijakan bank sentral, Gubernur Bank Sentral Jepang Haruhiko Kuroda membahas perihal kondisi ekonomi dan perdagangan, di mana dia menyampaikan bahwa dampak perlambatan global makin meluas.
Di sisi lain, permintaan domestik tetap cukup kuat dan ini telah menopang perekonomian Jepang.
“Tetapi jika konflik perdagangan AS-China berlangsung lebih lama, perlambatan pertumbuhan global akan makin terhambat dan menunda rebound. Kondisi itu mungkin melukai, bukan hanya sentimen bagi produsen, tetapi permintaan domestik," ujar Kuroda.
Jepang telah melihat pola yang sama ketika sentimen produsen memburuk, meskipun aktivitas sektor jasa tetap kuat karena mereka tidak terlalu sensitif terhadap dampak dari perlambatan perdagangan global.
Perselisihan dagang antara Jepang dan Korea Selatan turut membuat masalah menjadi lebih sulit bagi produsen mereka.
Sebagian besar ekonomi Asia, termasuk Jepang, merasakan tekanan tambahan karena pertumbuhan China melunak mendekati posisi terendah dalam 30 tahun.
Namun, menurut sejumlah sumber, dengan permintaan domestik yang kuat untuk menutupi ekspor Jepang yang lemah, banyak pejabat BOJ melihat tidak perlu segera meningkatkan dukungan moneter, dan lebih suka menyimpan amunisi terbatasnya saat ekonomi menghadapi masalah yang lebih besar.
Ekonomi Jepang terekspansi sebesar 2,1% secara tahunan pada kuartal pertama, tetapi banyak analis memperkirakan pertumbuhan telah melambat karena pertikaian dagang AS dan China menyebabkan kerugian ekspor.
"Kenaikan pajak penjualan yang diagendakan berlaku mulai Oktober juga dapat membatasi konsumsi," para analis memperingatkan.