Bisnis.com, JAKARTA - Tunisia akan memajukan pemilihan presiden (pilpres) yang seharusnya digelar pada November mendatang setelah kematian Presiden Beji Caid Essebsi kemarin.
Ketua parlemen Mohammed Ennaceur, yang dilantik sebagai presiden sementara, memiliki 90 hari untuk menyelenggarakan pemilihan presiden di bawah konstitusi negara itu, kata ketua komisi pemilu Nabil Baffoun seperti dikutip Aljazeera.com, Jumat (26/7/2019).
Dengan demikian, berarti pemilihan harus diadakan sebelum 23 Oktober, sedangkan pemilihan parlemen sebelumnya telah ditetapkan pada 6 Oktober.
"Pertanyaannya, apakah pemilihan presiden akan diselenggarakan sebelum atau setelah pemilihan parlemen akan diputuskan oleh komisi," kata Baffoun.
Warga berkumpul di luar Rumah Sakit Militer tempat Presiden Tunisia Beji Caid Essebsi meninggal di Tunis, Tunisia, 25 Juli 2019./Reuters
Pengumuman itu muncul di tengah perdebatan tentang persyaratan untuk melaksanakan pemilihan umum, yang diamandemen pada bulan Juni tetapi tidak pernah disetujui atau ditolak oleh Essebsi.
Aturan baru itu akan melarang beberapa kandidat kuat melakukan jajak pendapat, termasuk tokoh media Nabil Karoui, yang dituduh melakukan pencucian uang bulan ini setelah dia menyatakan niatnya untuk maju.
Tunisia, tempat kelahiran pemberontakan Musim Semi Arab (Arab Springs), adalah satu-satunya negara yang dipengaruhi oleh pemberontakan yang telah mendorong reformasi demokratis meski diwarnai kerusuhan politik, ekonomi yang lesu, dan serangan kekerasan.
Presiden Tunisia Beji Caid Essebsi meninggal pada usia 92 dan merupakan tokoh utama dalam transisi Tunisia menuju demokrasi setelah revolusi 2011.
Salah satu pemimpin tertua dunia itu meninggal di rumah sakit militer Tunis pada Kamis (25/7/2019)pagi. Dia dirawat di rumah sakit karena penyakit parah pada akhir Juni, tetapi kembali ke perawatan intensif pada hari Kamis, kata putranya.
Essebsi terpilih sebagai presiden secara langsung pertama di negara itu setelah pemberontakan Musim Semi Arab.