Bisnis.com, JAKARTA— Pelaporan terhadap dua hakim agung terkait putusan kasasi perkara BLBI dinilai melecehkan instusi Mahkamah Agung.
Sebagaimana diketahui, belum lama ini Koaliso Masyarakat Antikorupsi yang dimotori oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) mengadukan dua hakim agung ke Komisi Yudisial (KY).
Pasalnya, dalam perkara kasasi korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) BLBI, kedua hakim tersebut menyatakan bahwa perkara itu bukan tergolong pidana.
Pengacara senior Mohammad Assegaf mengatakan berbagai kritik dan serangan terhadap Mahkamah Agung (MA) sudah menjurus pada pelecehan terhadap institusi peradilan tertinggi di Indonesia yang dapat merusak posisi, kewibawaan, reputasi dan tatanan hukum yang sudah ada di negeri ini.
“Adalah sikap yang tidak bisa dibenarkan jika ada pihak yang menyerang institusi peradilan kita yang terhormat, khususnya Mahkamah Agung yang merupakan lembaga peradilan tertinggi di negeri ini, hanya karena mereka tidak suka atas suatu keputusan MA, ” katanya,Jumat (26/7/2019).
Menurut dia, dalam memutus suatu perkara, para hakim pasti melakukannya dengan seksama, sesuai fakta yang ada dan berdasarkan hukum yang berlaku.
“Sama halnya seperti putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi terhadap Syafruddin Arsyad Temenggung yang dihormati oleh KPK dan pihak-pihak lainnya. Maka, terlebih pada putusan Mahkamah Agung, juga harus dihormati dan dipatuhi,” paparnya.
Menurut Assegaf, apabila seorang hakim dapat diperiksa hanya karena beberapa orang tidak senang atas putusannya, hal itu akan merusak sistem hukum dan kewibawaan lembaga peradilan kita.
“Hal tersebut tidaklah adil bagi para Hakim dan tidak adil bagi SAT (Syafruddin Arsyad Temenggung) yang telah dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum oleh putusan Mahkamah Agung," tegasnya.
Para investor domestik dan asing, tuturnya, akan khawatir jika ternyata suatu putusan pengadilan di Indonesia yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dipermasalahkan kembali dan para hakim yang memutusnya dapat dipersalahkan. Ini menunjukkan tidak ada kepastian hukum di Indonesia.
Menurutnya, sudah menjadi fakta hukum bahwa MA telah membebaskan SAT karena tidak terbukti ada unsur pidana dalam keputusannya sebagai Kepala BPPN memberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) pada 2004 kepada Sjamsul Nursalim (SN), pemegang saham BDNI. Masalah BLBI-BDNI, tuturnya, sudah selesai setelah penandatanganan MSAA dan pemberian surat Release and Discharge dari pemerintah kepada Sjamsul Nursalim pada 1999.
Pembebasan SAT oleh para hakim agung, katanya, semestinya secara otomatis menggugurkan dakwaan terhadap Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim (IN), yang didakwa melakukan tindakan pidana bersama-sama SAT.
"SN dan IN seharusnya dibebaskan dari dakwaan karena hal itu berpotensi melanggar hak-hak asasinya. Sikap KPK yang justru bertindak sebaliknya, tetap kekeuh dan kukuh untuk mentersangkakan pasangan suami istri tersebut, tidak bisa diterima, bahkan bisa disebut aneh bin ajaib," pungkasnya.