Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kemalangan Huawei Jadi Berkah untuk Nokia dan Ericsson

Tekanan terhadap Huawei Technologies Co. membuka peluang bagi Nokia Oyj dan Ericsson AB Eropa untuk mendapatkan kontrak 5G dari pasar yang lebih luas.
Ilustrasi Huawei./Istimewa-Mashable
Ilustrasi Huawei./Istimewa-Mashable

Bisnis.com, JAKARTA -- Posisi Huawei Technologies Co. yang berada di tengah pusaran perseteruan dagang antara AS dan China menjadi berkah tersendiri bagi perusahaan telekomunikasi lainnya, termasuk Nokia Oyj dan Ericsson AB Eropa.

Dominasi Huawei di pasar peralatan telekomunikasi global selama 2 dekade terakhir menekan posisi Nokia dan Ericsson, yang bahkan harus mengurangi jumlah pekerja dan melakukan akuisisi untuk mempertahankan bisnis mereka agar tetap berjalan.

Namun, perkembangan sengketa dagang global terbaru dinilai dapat memberikan keuntungan bagi kedua perusahaan itu, termasuk dalam pembangunan jaringan nirkabel 5Gyang bisa dimanfaatkan untuk banyak sektor, mulai dari mobil otonom hingga robot yang dapat melakukan tindakan operasi.

"Huawei, untuk masa mendatang, akan menghadapi kecurigaan yang lebih luas. Nokia dan Ericsson berada dalam posisi yang menguntungkan," kata John Butler, seorang analis di Bloomberg Intelligence di New York, seperti dilansir Bloomberg, Rabu (19/6/2019).

Pada Mei 2019, dua perusahaan Eropa tersebut sama-sama memenangkan kontrak 5G dari unit telekomunikasi Jepang SoftBank Group Corp., menggantikan Huawei dan ZTE Corp. 

Ericsson menandatangani pakta serupa pada Maret 2019, dengan perusahaan telepon terbesar Denmark yaitu TDC A / S, yang telah bekerja dengan Huawei sejak 2013 untuk memodernisasi dan mengelola jaringannya.

Operator lain, mengharapkan pembatasan pemerintah pada Huawei, telah mulai mengganti produk Huawei dari bagian sensitif dalam sistem mereka. BT Group Plc menghapus Huawei dari inti jaringannya, sedangkan Vodafone Group Plc. telah menangguhkan pembelian peralatan inti dari Huawei untuk jaringan mereka Eropa.

Deutsche Telekom AG, yang menggunakan Huawei di seluruh sistem 4G-nya, juga sedang mengevaluasi kembali strategi pembeliannya.

Karena lusinan perusahaan telepon, termasuk yang ada di Kanada, Jerman, dan Perancis, berencana untuk memilih pemasok 5G dalam beberapa bulan mendatang, Cisco Systems Inc. dan Samsung Electronics Co. juga berlomba-lomba untuk melakukan transaksi.

Di depan umum, eksekutif dari Nokia dan Ericsson telah berhati-hati untuk tidak bersikap kritis terhadap Huawei. Keduanya memiliki kegiatan produksi di China serta menjual peralatan ke operator telepon China, dan Nokia juga memiliki kegiatan riset serta pengembangan berskala besar di sana.

Pihak Nokia mengaku terpaksa mengalihkan sebagian rantai pasokannya dari China untuk mengurangi dampak tarif yang dikenakan Pemerintah AS. Sementara itu, Ericsson mengklaim telah meneken 21 kontrak 5G, sementara Nokia mengatakan telah melakukan 42 kesepakatan kontrak 5G.

Adapun Huawei menyatakan telah menandatangani 46 kontrak 5G.

"Ericsson adalah yang pertama [mengembangkan] 5G setelah membangun jaringan berkecepatan tinggi untuk perusahaan seperti AT&T Inc., Swisscom AG di Swiss, dan Telstra Corp. Australia. Anda melihat bahwa di beberapa pasar kami menarik lebih banyak pelanggan," kata Chief Technology Officer Ericsson Erik Ekudden.

Meskipun mengalami kesulitan, tapi Huawei tetap merupakan saingan kuat. Banyak perusahaan telepon di Eropa menganggap stasiun induk, sakelar, dan router mereka unggul secara teknologi.

Sebuah laporan (unpublished) dari kelompok industri GSMA, seperti dilansir Bloomberg, mengeliminasi Huawei dan ZTE dari proyek 5G dapat meningkatkan biaya jaringan akses radio untuk perusahaan telepon Eropa sebesar 40 persen atau sekitar 55 miliar euro.

"Nokia dan Ericsson harus meningkatkan produksi hampir dua kali lipat untuk menyerap bisnis Huawei dan ZTE di Eropa dan berjuang untuk memenuhi permintaan," tulis laporan tersebut.

Sejak tahun lalu, pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah mendorong negara sekutu untuk membatasi keterlibatan Huawei dalam pengembangan jaringan 5G dengan risiko perusahaan sebagai mata-mata negara. Tuduhan ini dibantah oleh perusahaan asal Shenzhen tersebut.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Nirmala Aninda
Editor : Annisa Margrit
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper