Bisnis.com, JAKARTA - Rocky Gerung dalam beberapa kali cuitan di akun Twitter-nya Kamis 13 Juni 2019 menyebut ada 'anak kolam' yang terus mengawasinya. Bahkan dia menyebut, semakin malam 'anak kolam' bertambah banyak dan 'orkesnya' semakin nyaring.
"Woiii anak kolam, 24 jam nunggu gue kepeleset? Astaga:))"
"Ndro, yang nongol makin banyak. Mereka berkembang biak hanya untuk melotot. #koloni200"
"Gile Ndro, makin malam orkes anak kolam makin rame: sahut menyahut senada sepedunguan:))"
Cuitan 'anak kolam' itu ditujukan kepada 'bong' atau 'cebong' yang membanjiri media sosialnya. Rocky adalah salah satu yang selama ini cukup sering menghadapi komentar para 'cebong' tersebut ketika mencuit tentang apapun.
Dia kemudian menyebut istilah Cacophony menyikapi serbuan komentar itu. Istilah itu pernah disampaikan oleh Rocky melalui akun twitternya pada 24 Januari 2018 silam yang juga ditujukan kepada 'cebong'.
"Yang gue suka dari bong, mereka sahut-sahutan. Saling menutupi kedunguan. Makin riuh makin dungu. Unik banget. Itu yang disebut ‘cacophony’. Asbun (asal bunyi) tetapi ceria.”
Dalam dunia media sosial, sebutan ‘cebong’ digunakan untuk menyebut golongan pro Joko Widodo. Kemudian ada istilah 'kampret' untuk golongan pro Prabowo.
Selain itu, ada pula golongan yang disebut sebagai ‘onta’. Nama ini ditujukan untuk menyebut golongan islamis yang sering kali bersitegang dengan para ‘cebong’ di media sosial saat Pilkada DKI Jakarta 2017. Kini dalam Pilpres 2019, istilah yang bersitegang di media sosial adalah 'cebong' vs 'kampret'.
“Saya bukan orang yang cukup sering menghadapi mereka, tetapi terlalu sering! Ada yang setiap saya nge-tweet selalu muncul. Heran juga ini orang tidak tidur apa,” kata Rocky.
Kolom komentar atau balasan di media sosial saat ini kadang kala menyajikan hiburan yang lebih menarik dari konten atau unggahan sebenarnya. Warganet sering kali saling melontarkan komentar tak bermutu, menciptakan keriuhan yang disebut Rocky sebagai cacophony.
Rocky menjelaskan cacophony adalah lawan kata dari harmoni. Dia menilai sahut-sahutan tersebut bagaikan permainan musik yang kacau, tanpa partitur, tetapi tetap kompak dan disenangi para pemainnya. Perdebatan di media sosial adalah cacophony.
“Seperti anak-anak yang merasa menciptakan musik dengan memukul-mukul meja. Kalau anak kecil kan tidak apa-apa, tetapi ini dilakukan oleh orang dewasa, di media sosial mereka. Ini yang saya maksud cacophony,” katanya.
Sama halnya dengan Rocky, ahli sosiologi Monash University, Australia Ariel Heryanto juga sering menghadapi golongan netizen yang sama. Sering kali dia harus berdebat dengan mereka. Sayangnya debat sering kali tak setara, lawannya datang tanpa data, ataupun pengetahuan yang setara.
“Tidak ada masalah, itu risiko memasuki ruang publik. Kalau kita jalan ke ruang terbuka untuk umum, sangat mungkin ada debu atau lalat yang nempel. Jadi ya, tidak apa-apa, mereka [warganet] tidak akan membunuh saya,” tuturnya.
Ariel berpendapat, kemunculan golongan ‘cebong’, ‘onta’, dan lain sebagainya di media sosial disebabkan oleh situasi politik yang memanas beberapa tahun ke belakang. Peristiwa politik yang paling berdampak terhadap adalah Pemilihan Presiden 2014 dan Pemilihan Gubenur DKI Jakarta 2017.
Fenomena perdebatan di media sosial sendiri sejatinya bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Menurut Ariel, bedanya perdebatan di Indonesia hanya berfokus pada permasalah yang itu-itu saja. Hanya berkutat dalam persoalan agama, gubernur, dan presiden.
“Di masa-masa tertentu, yakni ketika terjadi pengerucutan konflik, banyak orang cenderung berpikir secara hitam-putih dan bicara secara karikatural. Semua disederhanakan jadi persoalan masalah moral antara yang dianggap serba baik lawan serba buruk,” terangnya.
Berbeda dengan di luar negeri, media sosial lebih banyak digunakan untuk membahas isu-isu yang lebih luas dan lebih berdampak kepada masyarakat. Dalam beberapa kesempatan, media sosial jadi saluran kampanye dengan berbagai tagar seperti #MeToo, #BlackLivesMatter, #OscarSoWhite, dan sebagainya.
Melihat kondisi ini Rocky berpendapat masalah utamanya bukan hanya ada pada masyarakat, tetapi pada media massa dan elit politik yang ada di Indonesia. Media massa selama ini menurutnya lebih banyak menyalurkan informasi yang berpusat pada politik di istana dan DPR saja.
“Para elit juga tidak mampu memberikan isu-isu atau topik lain yang mengundang publik untuk berkomentar. Jadi ya isunya hanya itu-itu saja,” katanya.