Bisnis.com, JAKARTA — Gugatan sengketa pemilu Tim Hukum BPN Prabowo-Sandiaga Uno soal kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif dianggap belum kuat.
Peneliti Hukum The Indonesian Institute Aulia Y Guzasiah dalam acara diskusi di kantor Formappi, Kamis (13/6/2019), menilai bahwa argumentasi Tim Hukum BPN Prabowo-Sandiaga sebenarnya telah tersusun rapi.
"Argumentasi yang indah itu adalah salah satu hal, tapi jangan dilupkan bahwa di dalam persidangan yang paling menentukan itu alat-alat bukti. Sehingga yang dilihat seberapa kuat, seberapa valid alat bukti itu bisa meyakinkan keyakinan hakim itu sendiri," jelasnya.
Aulia menjelaskan bahwa pembuktian kecurangan, apalagi bersifat TSM, memiliki ukuran-ukuran tertentu yang perlu diperhatikan. Dari situ akan terlihat, apakah signifikan atau tidak, dalam mempengaruhi hasil perolehan suara.
"Apakah mengakibatkan komando dari penguasa? Apakah tentang komando itu dibuat secara matang? Apakah area dari dampaknya itu luas? Saya kira dengan adanya dalil-dalil dari ragam itu, saya kira [bukti yang disajikan] belum cukup kuat," ujarnya.
"Saya rasa teman-teman juga tahu bahwasanya, misalkan dari sebagian alat bukti yang disodorkan itu, sebagian besar dari tautan link," tambah Aulia.
Senada dengan Aulia, dalam kesempatan yang sama, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai gugatan Tim Hukum BPN baru berupa kumpulan dalil.
"Masih berupa makalah. Semua dalil yang banyak itu harus dibuktikan dengan alat bukti yang sah. Apakah dalil yang mungkin nanti terbukti itu punya pengaruh terhadap hasil pilpres? Di permohonan ini sebenarnya belum terlalu kelihatan," kata Bivitri.
Bivitri mengingatkan dalam sengketa pilpres kali ini Tim Hukum BPN perlu lebih bekerja keras. Dibandingkan sengketa pilpres 2014, selisih suara kedua paslon lebih jauh, sehingga kini lebih sulit untuk membalikkan keadaan.
Bivitri juga menyebut lampiran video yang disertakan pemohon harus diverifikasi. Alat bukti elektronik punya tingkat kesulitan tersendiri untuk dibuktikan kebenarannya.
"Jangan lupa tahun 2014 cuma setengah [selisih suara dibandingkan pilpres kali ini]. Nah, waktu itu tim Prabowo-Hatta saja ditolak," kata Bivitri.