Kabar24.com, JAKARTA - Kepala Kepolisian Nasional Sri Lanka, Inspektur Jenderal Pujith Jayasundara menuding Presiden Maithripala Sirisena telah gagal mencegah terjadinya bom Paskah pada April lalu yang menewaskan 258 orang.
Sebagaimana diwartakan Channel News Asia pada Senin (3/6/2019), dalam petisi 20 halaman berisi keluhan yang diajukan ke pengadilan pekan lalu, Jayasundra menyoroti kesenjangan komunikasi antara badan intelijen dan keamanan negara yang berada di bawah komando Sirisena.
Jayasundra menyebutkan bahwa agensi intelijen utama Sri Lanka, State Intelligence Service (SIS) meminta Departemen Investigasi Teroris kepolisian berhenti menyelidiki kelompok esktremis Muslim, termasuk kelompok Jamaah Thowheeth Nasional (NTJ) yang mendalangi serangan pada Minggu Paskah tersebut.
"Kepala SIS, Nilantha Jayawardena, tidak menganggap serius laporan intelijen yang dibagikan oleh India tentang potensi serangan dari NTJ," tulis Jayasundra dalam laporan tersebut.
Jayasundara mengatakan meski SIS tidak membagi peringatan tersebut ke kepolisian, ia tetap mengambil inisiatif untuk memperingatkan para seniornya.
Jayasundra sendiri saat ini berstatus tak aktif. Ia diberhentikan oleh Presiden Sirisena setelah menolak bertanggung jawab atas serangan mematikan itu. Jaksa Agung pun turun tangan dan meminta pengadilan tinggi untuk mengambil putusan dalam kasus ini.
Jayasundara mengatakan ia sempat ditawari jabatan diplomatik jika bersedia mengundurkan diri, namun ia menolak dan menegaskan tak bertanggung jawab atas kemelut intelijen yang dinilai gagal mencegah terjadinya pengeboman.
"Saya telah dikesampingkan oleh Presiden Sirisena sejak keretakan politik antara Sirisena dan dan Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe muncul pada Oktober," paparnya.
Petisi Jayasundara datang beberapa hari setelah Sirisena secara terbuka menegur pejabat intelijen lainnya, Sisira Mendis, yang mengatakan kepada panel parlemen bahwa serangkaian bom paskah sejatinya bisa dicegah.
Pernyataan Mendis secara implisit memberi sinyal bahwa Sirisena tak mengadakan pertemuan Dewan Keamanan Nasional (NSC) untuk mengkaji ancaman serangan dari kelompok esktremis.
Dalam sebuah pernyataan, Sirisena membantah klaim Mendis bahwa badan keamanan tertinggi negara itu tak mengadakan pertemuan intens pada waktu menjelang serangan.
Sirisena yang juga menteri pertahanan mengungkapkan bahwa pertemuan NSC berlangsung dua kali sepekan. Pengakuan ini kontras dengan laporan Mendis yang mengatakan bahwa pertemuan terkahir NSC dilaksanakan pada 19 Februari, lebih dari dua bulan sebelum serangan bom Paskah 21 April yang menyasar tiga gereja dan tiga hotel mewah di negara itu.
Sirisena mengatakan dia bertemu dengan kepala polisi nasional beserta petinggi lainnya 13 hari sebelum serangan Paskah. Dalam pertemuan itu, Sirisena mengatakan ia tak menerima satu pun laporan soal peringatan dari intelijen India.
Sri Lanka menetapkan status keadaan darurat sejak serangan tersebut terjadi. Namun pada pekan lalu Sirisena mengumumkan status tersebut akan berakhir dalam sebulan.