Bisnis.com, JAKARTA -- Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) berharap istilah "bapak pendiri bangsa" atau founding fathers tidak lagi digunakan untuk menyebut para pendiri bangsa.
Plt Kepala BPIP Hariyono mengatakan istilah founding fathers harus dihentikan penggunaannya lantaran pendiri bangsa tidak semuanya berjenis kelamin laki-laki. Dia menuturkan ada dua perempuan yang termasuk jajaran pendiri bangsa dan ikut dalam keanggotaan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).
"Ada dua perempuan, yaitu Maria Ulfa dan Nyonya Sunaryo. Sehingga, mari kita dalam forum-forum resmi atau tulisan tidak ikut-ikutan orang Barat yang menyebut pendiri bangsa dengan the founding fathers. Karena kalau the founding fathers, mothers-nya tidak ada," ucap Hariyono di kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, Senin (20/5/2019).
Dia juga menyinggung peran besar perempuan Indonesia, khususnya pascareformasi. Besarnya peran perempuan juga disebut terlihat dari kehadiran partai politik (parpol) yang dipimpin perempuan dan berhasil menang di tiga kali Pemilu pascareformasi.
Parpol yang dimaksud adalah PDI Perjuangan (PDIP). Partai itu dipimpin Megawati Soekarnoputri, yang juga berkedudukan sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP.
"Kita juga membuktikan justru salah satu, atau bahkan satu-satunya partai, di 5 kali Pemilu era Reformasi menang 3 kali justru parpol yang dipimpin perempuan, bukan laki-laki. Artinya, perspektif gender harus kita pahami juga," ujar Hariyono.
Baca Juga
BPIP juga menyinggung peringatan Hari Kelahiran Pancasila yang belum pernah dirayakan secara kenegaraan sebelum Presiden Joko Widodo berkuasa.
Menurut Hariyono, ketiadaan perayaan hari kelahiran Pancasila menyebabkan banyaknya masyarakat yang meremehkan dasar negara. Padahal, kelahiran Pancasila pada 1 Juni 1945 sudah ditetapkan sejak Orde Baru berkuasa.
"Menko Polkam M. Panggabean pada 1978 juga menetapkan kelahiran Pancasila pada 1 Juni 1945. Yang berbeda adalah saat itu, Pancasila kelahirannya tidak diperingati secara kenegaraan," ucapnya.
Perayaan kelahiran Pancasila sejak era 1980 hingga sebelum Reformasi disebut dilaksanakan secara sporadis. Selain itu, sejumlah instansi pemerintah juga tak merasa bersalah jika tidak memperingatinya.
Hal ini diklaim berdampak terhadap diremehkannya Pancasila oleh sebagian warga Indonesia dan bahkan, ada yang menawarkan ideologi yang berbeda.