Bisnis.com, JAKARTA — Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia khawatir Tim Asistensi Hukum bentukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wirantohttps://www.bisnis.com/topic/19976/wiranto merupakan cara lain menghidupkan kembali UU Subversif produk Orde Lama.
"Saya menyebut ini tim akselerator penerapan makar saja. Karena kalau aturan [hukumnya] sudah ada, kenapa dibuat tim?" ujar Ketua Umum YLBHI Asfinawati dalam sebuah diskusi di Kantor YLBHI, Rabu (15/5/2019).
"Saya pun tidak bisa membayangkan bagaimana anggota Polres atau Polda bisa menolak rekomendasi tim yang dibuat oleh Menkopolhukam. Saya kalau jadi polisi juga pasti takut," tambah Asfin.
Asfin menjelaskan bahwa Penetapan Presiden (Penpres) no 11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, merupakan aturan setara UU yang di masa Orde Lama dan Orde Baru, terkenal sebagai alat pemerintah untuk dengan mudah menangkap masyarakat, aktivis, bahkan lawan politik.
Dalam peraturan tersebut, tercatat bahwa yang dapat dikenai tindak pidana subversi, yaitu:
1. barang-siapa melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud atau nyata-nyata dengan maksud atau yang diketahuinya atau patut diketahuinya dapat:
a. memutar balikkan, merongrong atau menyelewengkan ideologi negara Pancasila atau haluan negara, atau
b. menggulingkan, merusak atau merongrong kekuasaan negara atau kewibawaan Pemerintah yang sah atau Aparatur Negara, atau
c. menyebarkan rasa permusuhan atau menimbulkan permusuhan, perpecahan, pertentangan, kekacauan, kegoncangan atau kegelisahan diantara kalangan penduduk atau masyarakat yang bersifat luas atau diantara Negara Republik Indonesia dengan sesuatu Negara sahabat, atau menganggu, menghambat atau mengacaukan bagi industri, produksi, distribusi, perdagangan, koperasi atau pengangkutan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, atau berdasarkan keputusan Pemerintah, atau yang mempunyai pengaruh luas terhadap hajat hidup rakyat;
2. barang siapa melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan yang menyatakan simpati bagi musuh Negara Republik Indonesia atau Negara yang sedang tidak bersahabat dengan Negara Republik Indonesia.
3. barangsiapa melakukan pengrusakan atau penghancuran bangunan yang mempunyai fungsi untuk kepentingan umum atau milik perseorangan atau badan yang dilakukan secara luas;
4. barangsiapa melakukan kegiatan mata-mata:
5. barangsiapa melakukan sabotase.
"Ini pasal-pasal yang kabur karena kita tidak tahu kewibawaannya yang mana atau apakah itu kewibawaan," ujar Asfin.
Beruntung, Penpres ini telah dicabut pada tahun 1999. Oleh sebab itu, Asfin berharap tak ada lagi langkah-langkah serupa peraturan ini dari pemerintah saat ini, demi menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).
"Imajinasi-imajinasi tentang ancaman kepada sebuah negara atau pemimpin atau kepada pemerintah itu sudah dicabut, sudah tamat, the end, pada tahun 1999," tutup Asfinawati.