Bisnis.com, JAKARTA -- Sejumlah negara emerging markets dijadwalkan menggelar Pemilu pada tahun ini. Salah satunya adalah Turki, yang telah menyelenggarakan Pemilu pada 31 Maret 2019.
Pemilu tersebut adalah Pemilu lokal, semacam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia. Hasil perhitungan sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) Turki menunjukkan bahwa Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang dipimpin oleh Presiden Recep Tayyip Erdogan mengalami kekalahan di kota-kota besar, yakni Istanbul, Ankara, Izmir, dan Diyarbakir.
Kota besar, terutama Istanbul, bukan hanya penting karena memiliki jumlah pemilih yang banyak. Tetapi, juga strategis bagi keberlangsungan sebuah partai politik di Turki.
Istanbul adalah kota berpenduduk lebih dari 15 juta orang. Kota ini dihuni oleh orang-orang dari berbagai suku, agama, hingga asal negara.
Dengan demikian, kota ini sudah dapat menjadi kunci utama untuk dapat menarik perhatian orang Turki yang jumlahnya sudah menembus 82 juta jiwa.
Meski Ankara merupakan pusat pemerintahan, tapi beberapa pusat kantor-kantor pemerintahan strategis masih berpusat di Istanbul.
Seorang warga Turki memegang surat suaranya di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dalam Pemilu lokal di Istanbul, Turki, Minggu (31/3/2019)./Reuters-Huseyin Aldemir
Beberapa perusahaan-perusahaan multinasional beraset miliaran dolar AS juga lebih senang bertengger di Istanbul ketimbang kota-kota lain. Dengan demikian, jika Istanbul lebih kondusif, maka investasi juga akan masuk lebih deras, ekonomi tumbuh lebih baik, dan politikus yang menjabat akan disanjung-sanjung.
Jika ditelisik ke belakang, Erdogan adalah tokoh yang mampu memanfaatkan kebesaran kota tersebut. Bahkan, pria yang tingginya 185 centimeter ini sempat menjadi kebanggaan warga kota Istanbul.
Betapa tidak, saat pertama kali membuat AKP dengan membelah partai milik gurunya Necmettin Erbakan pada 2001, dia menawarkan ideologi moderat yang diklaim bakal berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat.
Pria yang sempat dipenjara hanya karena puisi ini pun menyatakan bahwa AKP bukan partai Islam tetapi anggotanya adalah Muslim yang moderat. Dia berjanji akan membangun hubungan baik terhadap semua suku, ras, dan agama, serta ikut dengan semua konsensus yang dibuat oleh organisasi-organisasi internasional.
Pernyataan Erdogan tersebut mendapat tanggapan positif dari masyarakat Turki, khususnya kota megapolitan Istanbul. Terlebih, saat itu, perdebatan paling khas adalah antara partai Islam dan partai sekuler.
Masyarakat lebih ingin pemerintah terpilih meninggalkan perdebatan kontra produktif dan fokus pada pembangunan ekonomi. Apalagi, saat itu, Turki baru saja melewati krisis. Ekonomi Turki turun 3,3 persen pada 1999 dan merosot 5,7 persen pada 2001.
Pada 2003, saat Erdogan berhasil menjadi Perdana Menteri (PM), semua janji tersebut benar-benar ditunaikan. Dia benar-benar membangun Turki dan berusaha membuat Istanbul sebagai kota yang kondusif untuk pelaku usaha.
Fitch pun memberikan rating Baa3 stabil pada 2013, jauh lebih baik dibandingkan rating B1 pada 2009. Proyek-proyek infrastruktur besar pun banyak dimulai dan investor luar negeri tidak segan menanamkan uangnya.
Status Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa (UE) juga mendapat kabar baik. Bahkan, Turki yakin dapat mengaplikasikan semua persyaratan yang diberikan UE, baik dalam hal hukum yang demokratis maupun ekonomi yang aktif dan independen dari kekuatan luar.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Turki 2009-2014, Ahmet Davutoglu--yang sekarang menjadi PM--pernah berikrar Turki akan menjadi negara yang damai dan memiliki “nol” masalah dengan negara-negara tetangga.
Dengan perkembangan positif tersebut, Turki menjadi negara panutan bagi negara Muslim lainnya, yakni sebagai negara berpenduduk Muslim yang moderat dan demokratis yang mampu membangun ekonomi.
Di tengah panasnya politik di Timur Tengah, ekonomi Turki justru mampu tumbuh dengan kecepatan 9,64 persen pada 2004. Meski sempat anjlok pada 2009, tetapi Turki kembali tumbuh dengan kecepatan yang lebih tinggi, yakni 11,11 persen pada 2011.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan istrinya, Emine, menyapa para pendukung mereka di Ankara, Turki, Senin (1/4/2019)./Reuters-Umit Bektas
Namun, apa yang terjadi pada masa lalu hanya sebuah cerita. Menjaga keberhasilan justru lebih sulit dari pada menggapainya.
Kemunduran Turki terlihat cukup jelas di mata dunia internasional, yakni seperti pertumbuhan ekonomi yang mulai melambat, mata uang yang melemah, inflasi yang melambung, dan hubungan luar negeri yang penuh dilema.
Retorika yang dibangun Erdogan pada saat membangun negeri juga tak lagi sama, penuh kemarahan dan penuh kebencian terhadap oposisi dan siapa pun yang tak sependapat dengannya.
Bahkan, demi menjaga nama baik yang mulai tercemar akibat kasus korupsi besar yang menyeret beberapa nama menterinya, Erdogan tak segan menutup 180 lebih perusahaan media di Turki.
Warga kota Istanbul yang dulunya menjadi pendukung setia Erdogan pun mulai ragu untuk mendukungnya kembali dalam Pemilu kali ini.
Penghitungan Ulang
Talha Tepe, seorang karyawan swasta di Turki, mengatakan kegagalan Erdogan di kota-kota besar merupakan sebuah anugerah bagi masyarakat. Meski masyarakat tidak berharap semua permasalahan ekonomi dan politik akan hilang dalam semalam, setidaknya kekalahan partai Erdogan akan menjadi pelajaran, baik bagi AKP maupun partai oposisi.
"AKP sudah tidak bisa lagi mengandalkan suara yang diperolehnya dan melakukan hal yang semena-mena. Oposisi juga sudah harus mulai memberi banyak narasi yang fokus membangun ekonomi. Bukan sekadar politik," ucapnya kepada Bisnis, Selasa (2/4/2019).
Talha meyakini AKP sudah tidak akan mungkin lagi menang dalam Pemilu kali ini. Selisih suara antara Partai Erdogan dan oposisi sekitar 25.000 suara.
Saat ini, Erdogan mengajukan dilakukannya penghitungan kembali atas 300.000 suara. Namun, hal tersebut dirasa tidak akan terlalu banyak berubah karena KPU Turki tidak pernah mengubah perhitungannya.
"Bertahun-tahun permintaan perhitungan kembali ini diajukan, tetapi KPU tidak pernah mengubah perhitungannya. Kali ini saya rasa juga sama," lanjutnya.
Tepe bercerita pendukung Erdogan masih mengibarkan bendera-bendera dan menyuarakan kemenangan AKP. Namun, dukungan tersebut semakin hari semakin berkurang. Pendukung Erdogan dinilai mulai merasa tidak memiliki kesempatan, kali ini.
Di sisi lain, pendukung oposisi lebih memilih untuk tenang dan membiarkan semua urusan diselesaikan secara hukum.
"Rasanya ini momentum yang paling bagus. Pendukung oposisi tidak lagi menganjurkan orang-orang turun ke jalan. Semua diselesaikan dengan hukum dan saya rasa rakyat akan menang kali ini," ucapnya.
Ekrem Imamoglu (kiri), kandidat wali kota Istanbul dari Partai Rakyat Republik (CHP) yang menjadi oposisi AKP, memeluk pendukungnya di Istanbul, Turki, Senin (1/4/2019)./Reuters-Huseyin Aldemir
Talha menyampaikan masyarakat hanya menginginkan kehidupan kembali normal. Pasalnya, salah aturnya ekonomi sangat memukul daya beli masyarakat, saat ini.
“Semuanya naik harga, roti, sayur, daging. Kami dulu eksportir sayur, sekarang harus beli dari luar negeri dan harganya masih tetap mahal,” imbuhnya.
Namun, keyakinan Tepe bahwa jumlah suara yang diraih AKP dan oposisi tak akan berubah masih memiliki kemungkinan sebaliknya.
Kantor berita Anadolu, seperti dilansir Reuters pada Rabu (3/4), melaporkan bahwa ada penghitungan suara ulang di 18 distrik di Istanbul. Jumlah itu hampir separuh dari seluruh distrik di Istanbul, yang memiliki 39 distrik.
Penghitungan ulang didasari oleh keberatan yang dari AKP, yang menuding bahwa hasil Pemilu turut dipengaruhi oleh suara yang tidak sah dan permasalahan lainnya. Selain Istanbul, AKP juga menyampaikan keberatan yang sama atas hasil Pemilu di Ankara.
Bagaimanapun hasilnya, Pemilu kali ini menjadi pengingat bagi Pemerintah Turki yang kini berkuasa--juga bagi pemerintah negara-negara lain--bahwa kepercayaan rakyat sangat penting untuk dijaga.