Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mana Lebih Penting, Pertahanan Siber ala Jokowi atau Belanja Alutsista ala Prabowo?

Selepas Debat Pilpres IV digelar, masalah Pertahanan dan Keamanan menjadi isu menarik dalam diskusi bertajuk "Setelah Debat Keempat, Siapa Makin Memikat" di bilangan Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (4/4/2019).
Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri), Ketua KPU Arief Budiman (tengah) dan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto sebelum mengikuti debat capres putaran keempat di Hotel Shangri La, Jakarta, Sabtu (30/3/2019)/JIBI/Bisnis-Nurul Hidayat
Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri), Ketua KPU Arief Budiman (tengah) dan capres nomor urut 02 Prabowo Subianto sebelum mengikuti debat capres putaran keempat di Hotel Shangri La, Jakarta, Sabtu (30/3/2019)/JIBI/Bisnis-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA — Selepas Debat Pilpres IV digelar, masalah Pertahanan dan Keamanan atau hankam menjadi isu yang menarik untuk diperdalam lewat diskusi bertajuk "Setelah Debat Keempat, Siapa Makin Memikat" di bilangan Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (4/4/2019).

Saat debat IV digelar di Shangri-La Jakarta, Sabtu (30/3/2019), kedua capres baik petahana Joko Widodo maupun penantang Prabowo Subianto menawarkan penekanan yang berbeda terkait tema hankam.

Sementara dalam diskusi di Gambir, Pihak TKN Jokowi-Ma'ruf diwakili politisi Perindo Arya Sinulingga. Arya  menekankan agar Indonesia jangan sampai tertinggal dari negara lain yang telah mengembangkan teknologi siber sebagai alat hankam.

"Kita memang masih bertempur di mana posisi cyber defense di Indonesia ini. Di Singapura, dia bangun sendiri lepas dari pertahanan. Bahkan, ada usul bahwa ini akan jadi matra berikutnya, lepas dari matra Angkatan Darat, Angkatan Udara dan Angkatan Laut," jelas Arya.

"Bahkan kalau di Amerika ada divisi tersendiri, lucunya itu dari AU. Apa yang terjadi? Itu pesawat-pesawat Irak banyak tapi tak bisa naik. Kenapa? Disikat bos, pakai siber. Nah inilah pertempuran-pertempuran ke depan. Makanya dibangun Badan Siber dan Sandi Negara [BSSN]. Inilah cikal-bakal, tapi Indonesia masih mencari bentuk," tambah Arya.

Sedangkan pihak BPN Prabowo-Sandiaga diwakili politisi Partai Demokrat Jansen Sitindaon berpendapat kekuatan "militer tradisional" Indonesia seharusnya lebih diprioritaskan sebagai penunjang kekuatan diplomasi, serta untuk menanggulangi pelecehan teritori.

Menurutnya, teknologi radar udara dan bawah laut untuk pertahanan negara yang dibanggakan Jokowi, belum bisa dibanggakan. Sebab, hal tersebut hanya berfungsi seolah-olah CCTV saja, bukan alat pemukul.

"Seperti misalnya Korea Utara. Mereka tidak punya kekuatan siber. Tapi kenapa orang takut, geram? Ya karena ada kekuatan tradisional itu. Satu juta tentara, peluru kendali yang hampir tiap bulan dicoba, dites segala macam lewat Jepang itu. Belum ditembak, baru lewat saja itu udah bikin enggak bisa tidur," ungkap Jansen.

Menanggapi hal tersebut, Peneliti bidang Pertahanan dan Keamanan LIPI Diandra M Mengko menjelaskan bahwa kedua pendapat tersebut masuk dalam diskursus akademis, sehingga tidak ada dikotomi benar-salah antarkeduanya.

"Jadi LIPI itu tahun 2018 kita buat survei ahli satu Indonesia. Nah itu menyatakan ancaman nontradisional, salah satunya termasuk soal siber itu dipandang oleh para ahli kalau tidak salah angkanya 88 persen itu paling mungkin muncul daripada ancaman konvensional berupa peperangan. Banyak juga dokumen pertahanan yang menyatakan demikian," jelas Diandra.

"Tapi kembali lagi, itu tidak apple to apple. Kembali lagi kalau bicara perang itu low probability, tapi kalau terjadi impact-nya akan sangat besar. Kalau nontradisional impact-nya memang tidak sebesar peperangan, tapi high probability. Itu cara memandangnya. Jadi jangan memandang mana yang lebih penting," tambah Diandra.

Menurut Diandra, yang perlu disorot terkait pertahanan siber sebagai kekuatan utama hankam, yaitu koordinasi antarlembaga yang akan dibentuk. Terlebih, BSSN hanya dibuat dengan melalui Peraturan Presiden (Perpres) dan bertujuan hanya untuk melindungi dokumen lembaga negara dari serangan siber.

Diandra menilai kedua kandidat sebenarnya terlihat sama-sama memiliki komitmen untuk memajukan pertahanan dan keamanan Tanah Air. Sayangnya, keduanya belum menjawab persoalan akuntabilitas dan transparasi dalam pengadaan alutsista.

"Kalau dari data Transparansi Internasional di tahun 2015 itu defense anticoruption index kalau enggak salah, itu memang menyatakan Indonesia masih negara yang berisiko rawan atas korupsi sistem pertahanannya terutama di persoalan pengadaan," ungkap Diandra.

Selain itu, bukan hanya komitmen belanja alutsista, wanita jebolan Universitas Pertahanan Indonesia ini menyebut hal yang lebih penting, tetapi belum dielaborasi lebih jauh oleh kedua paslon. Dalam hal ini Diandra menyebut soal proses pengadaan dan perencanaan alutsista.

Diandra menjelaskan program belanja alutsista ini mulai dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berupa Minimum Essential Force (MEF) 2009-2014 telah tercapai 75 persen. Selanjutnya, program Essential Force 2009-2014 dan dilanjutkan era Jokowi-JK hingga mencapai 66 persen tahun 2018.

Terakhir, di tahap ketiga, yaitu program Optimum Force tahun 2019-2024. Inilah program yang menurut Diandra, harus diawasi bersama akuntabilitas, perencanan, dan eksekusinya siapa pun presiden yang terpilih. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Aziz Rahardyan
Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper