Bisnis.com, JAKARTA- Pembagian jatah menteri untuk partai politik anggota koalisi pada sebuah pemilu presiden dianggap bisa membawa dampak positif dan negatif. Dampak-dampak itu bisa juga menjerat semua kandidat pada Pilpres 2019.
Menurut Direktur Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo, dampak negatif yang bisa muncul dari pembagian jatah menteri kepada parpol koalisi adalah stigma di masyarakat. Pandangan negatif bisa semakin muncul jika pembicaraan soal jatah menteri dilakukan sebelum pemilu berakhir.
"Bagi-bagi jatah menteri sebelum hasil pemilu diketahui bisa meninbulkan kesan sombong dan terlalu percaya diri. Hal ini justru bisa berpotensi menimbulkan sentimen negatif di mata publik. Meskipun pada sisi lain, politisi atau kandidat harus memiliki kepercayaan diri," kata Karyono kepada Bisnis, Selasa (2/4/2019).
Nilai positifnya, pembagian jatah menteri dan pengumumannya sebelum pemilu berakhir dianggap bisa memperkuat soliditas koalisi. Karyono menganggap semangat tim kampanye bisa bertambah jika komitmen pembagian jatah menteri diumumkan sejak jauh-jauh hari.
Menurut Karyono, wajar jika ada praktik pembagian jatah menteri pada setiap ajang pilpres. Sebabnya, proses pemilu yang dijalani pasti melibatkan parpol. Sementara, salah satu tujuan partai politik didirikan adalah untuk berkuasa.
"[Bagi-bagi jabatan] lebih memberikan kepastian komitmen politik bagi partai koalisi. Kerja partai dan tim yang lain lebih bersemangat," katanya.
Baca Juga
Pembicaraan soal pembagian jatah menteri mencuat pasca Direktur Komunikasi dan Media Badan Pemenangan Nasional (BPN) Hashim Djojohadikusumo mengatakan ada dua partai yang sudah pasti mendapat kursi menteri jika Prabowo menang pemilu. Kedua partai itu adalah Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
“Kita kan sudah sepakat dengan PAN ada tujuh menteri untuk PAN, enam untuk PKS,” katanya di Jakarta, Senin (1/4/2019).