Kabar24.com, JAKARTA - Pesawat Lion Air JT610 yang jatuh di perairan Kawarang dikemudikan Kapten Pilot berkebangsaan India, Bhavye Suneja, 31 tahun. Sementara co-pilot adalah Harvino, warga negara Indonesia.
Sesaat sebelum pesawat menukik ke laut, pilot Suneja hanya terdiam. Sedangkan Harvino menyerukan Allahu Akbar. Setelah itu pesawat pun menghantam perairan laut dan menewaskan total 189 orang di dalamnya.
Hal itu terungkap dari rekaman detik-detik menjelang jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 dari Jakarta menuju Pangkal Pinang terungkap. Kantor berita Reuters mengungkap hasil investigasi terhadap kecelakaan Lion Air Boeing 737 MAX pada 29 Oktober 2018.
Berdasarkan hasil investigasi kecelakaan yang dilansir Reuters, sang pilot dan kopilot sebelumnya bersusah payah mencari informasi dari buku panduan setelah pesawat jet yang mereka kendalikan tiba-tiba menukik ke bawah. Namun tak banyak yang dilakukan. Mereka akhirnya kehabisan waktu dan terhempas seketika ke dalam lautan.
Ini adalah pertama kalinya isi rekaman suara dari pesawat Lion Air yang nahas tersebut diperdengarkan. Investigasi ini dilakukan setelah otoritas penerbangan Amerika Serikat (AS) Federal Aviation Administration (FAA) dan regulator lain menghentikan operasional model pesawat Boeing tersebut pascakecelakaan di Ethiopia pada 10 Maret 2019.
Menurut laporan awal yang dirilis pada November 2018, Kapten pilot Lion Air memegang kendali penerbangan Lion Air JT 610 ketika pesawat itu lepas landas dari Jakarta, sedangkan co-pilot pesawat bertugas menangani radio.
Ada tiga narasumber yang diwawancarai oleh Reuters. Sumber tersebut menyatakan dua menit setelah lepas landas, co-pilot melaporkan “masalah kontrol penerbangan” kepada pihak ATC (air traffic control) dan mengutarakan bahwa pilot bermaksud mempertahankan ketinggian di 5.000 kaki.
Co-pilot tidak memerinci permasalahan yang dialami, tetapi menurut seorang sumber, rekaman suara kokpit menyebutkan kecepatan udara. Sementara itu, sumber kedua mengatakan indikator menunjukkan adanya masalah pada layar kapten, bukan pada layar co-pilot.
Kapten pun meminta co-pilot untuk memeriksa buku panduan referensi cepat, yang berisikan daftar peristiwa-peristiwa abnormal, seperti dituturkan sumber pertama.
Selama sembilan menit berikutnya, pesawat itu memperingatkan sang pilot adanya kondisi stall dan otomatis meresponsnya dengan mendorong bagian hidung pesawat ke bawah, laporan itu menunjukkan.
Kondisi stall terjadi ketika aliran udara di atas sayap pesawat terlalu lemah untuk menghasilkan daya angkat dan membuatnya tetap terbang.
Sang kapten, dikatakan sumber yang sama, berjuang keras untuk menaikkan pesawat. Namun komputer, yang masih salah merasakan kondisi stall, terus menekan hidungnya menggunakan sistem trim pesawat. Normalnya, sistem trim menyesuaikan permukaan kontrol pesawat untuk memastikannya terbang lurus dan datar.
“Mereka tampaknya tidak tahu trim itu bergerak turun. Mereka hanya memikirkan kecepatan udara dan ketinggian. Hanya itu yang mereka bicarakan,” ungkap sumber ketiga.
Ketiga sumber menuturkan bahwa pilot Lion Air JT 610 terdengar tetap tenang selama sebagian besar penerbangan. Sang pilot kemudian meminta co-pilot untuk menerbangkan pesawat sementara dia memeriksakan manual untuk mencari solusi permasalan.
Sekitar satu menit sebelum pesawat menghilang dari radar, kapten kemudian meminta ATC untuk membersihkan lalu lintas lainnya di bawah 3.000 kaki dan meminta ketinggian 5.000 kaki. Permintaannya ini disetujui, menurut laporan awal tersebut.
Saat kapten mencoba untuk menemukan prosedur yang tepat dalam buku panduan, co-pilot pesawat digambarkan tidak mampu mengendalikan pesawat itu.
Rekaman data penerbangan menunjukkan input kolom kontrol akhir dari co-pilot lebih lemah daripada yang dibuat sebelumnya oleh kapten pilot.
“Ini seperti ujian dimana ada 100 pertanyaan dan ketika waktunya habis Anda hanya menjawab 75. Jadi, kamu panik. Ini adalah kondisi time-out,” ujar sumber ketiga, sebagaimana diberitakan Reuters.
Pesawat Lion Air JT 610 jatuh sesaat setelah terbang dari Bandara Soekarno Hatta menuju Pangkal Pinang. Sebanyak 189 orang menjadi korban, sebagian di antaranya adalah pegawai di Kementerian Keuangan.