Kabar24.com, JAKARTA — PT Spekta Properti Indonesia, sebuah pengembang properti akhirnya lolos dari belenggu Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), setelah tercapai homologasi perdamaian dengan para krediturnya.
Kesepakatan perdamaian antara Spekta Properti Indonesia (sebagai debitur) dan para kreditur bisa terwujud karena adanya kepastian dari investor yang siap melanjutkan pembangunan apartemen LA City.
Pengurus PKPU Spekta Properti Indonesia Jeffrey Y. Napitupulu mengatakan, saat agenda pengambilan suara, dari para kreditur yang hadir sebanyak 275 kreditur, pihak kreditur yang menyatakan menyetujui mau berdamai dengan debitur Spekta Properti Indonesia ada 269 kreditur.
"Iya, setelah melewati masa PKPU hampir mendekati 270 hari, ada pengembang properti juga yah, yaitu PT Puri Klaudran Sentosa mau menjadi investor ke debitur. Saat pengesahan putusan perdamaian, hakim mengatakan perdamaian terpenuhi sesuai pasal 281 ayat 1 UU PKPU dan Kepailitan," kata Jeffrey kepada Bisnis usai putusan.
Alasan lainnya, imbuh Jeffrey, bahwa hakim melihat dalam pasal 285, tidak ditemukan alasan untuk tidak mengesahkan perdamaian karena kapasitas pengurus dalam menseleksi calon investor maksimal dan sanggup mengambil alih proyek pembangunan apartemen.
Jeffrey mengatakan, ketika proses terjadinya pemungutan suara yang berlangsung pada 21 Februari 2019, kreditur yang hadir sebanyak 275 kreditur dengan total tagihan sebanyak Rp118,71 miliar, dengan kreditur yang menerima proposal perdamaian sebanyak 269 kreditur menggenggam tagihan Rp80,24 miliar.
Sementara itu, pengurus PKPU lainnya Sabar Simamora mengatakan, investor Puri Klaudran Sentosa dalam pembahasan proposalnya, menawarkan kepada kreditur dua skema untuk menyelesaikan kewajiban utang-utangnya.
Pertama, skema refund atau pengembalian dana kepada kreditur, tetapi unit apartemen yang sudah terlanjur dibeli tidak dikembalikan kepada konsumen. Pengembalian dana, menurut Sabar, baru terlaksana setelah investor dan debitur menyelesaikan pembangunan apartemen, dengan catatan pemotongan pengembalian uang sebesar 25%.
"Kedua, adalah skema top up yakni, pembangunan apartemen akan dilanjutkan sehingga unit-unit kamar terselesaikan tetapi konsumen harus menambahkan lagi uang apartemen itu. Dengan perhitungan penambahan uang dari konsumen tersebut adalah perbandingan antara harga beli pada 2011 dengan saat ini," ujarnya.
Namun, menurutnya, masih terjadi kemungkinan perubahan harga pada skema refund dan top up karena investor tersebut sedang menggodok audit proyek pembangunan apartemen tersebut. "Kami memberikan waktu 6 bulan setelah homologasi perdamaian ini kepada debitur dan investor untuk menyelesaikan auditnya supaya penyelesaian kewajiban lancar."
Bahkan, kata Sabar, perjanjian perdamaian memberikan pasal yang mengikat bahwa apabila investor gagal menjalankan kewajibannya bisa dialihkan kepada investor cadangan lainnya karena banyak pihak yang sangat berminat untuk membangun apartemen City LA.
Kuasa hukum Spekta Properti Indonesia, R. Supramono mengharapkan, pembangunan apartemen dapat selesai sesuai rencana sehingga bisa melakukan serah terima unit dan membayar utang kepada para seluruh kreditur.
"Kami mengucapkan terimakasih telah diberikan kepercayaan dari kreditur kepada klien kami untuk menyelesaikan kewajiban membangunan apartemen. Kami berharap dalam pelaksanaan perjanjian perdamaian tidak terjadi perselisihan dan hambatan lagi karena ini sudah sesuai ketentuan yang berlaku," ujar dia.
PKPU Spekta Properti Indonesia bermula, ketika ada dua konsumen pembeli apartemen mengajukan permohonan PKPU karena pengembang itu ingkar janji untuk menyerahkan unit-unit apartemen yang telah dibeli konsumen.
Perkara PKPU Spekta Properti Indonesia terdaftar dengan No. 58/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Jkt.Pst register 7 Mei 2018 dan diputuskan PKPU oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, pada 7 Juni 2018 lalu.
Debitur saat itu menyatakan kesulitan dana untuk melanjutkan pembangunan apartemen. Padahal, saat ini pembangunan apartemen yang berlokasi di Jalan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, tersisa selesai 15% lagi.
Apartemen yang berada di atas lahan seluas 1,4 hektare itu rencananya memiliki tower A, B, dan C dengan ketersediaan kamar sebanyak 700 unit. Ada dua unit yang ditawarkan kepada konsumen yakni, tipe studio seluas 22 meter persegi dan tipe dua kamar tidur seluas 33 meter persegi.
Dalam perjalanan waktu, ternyata ada perubahan pembangunan terhadap 3 tower yaitu tower A, B dan C dari 24 lantai menjadi 17 lantai ditambah dengan 1 tower D sebanyak 20 lantai yang menyebabkan biaya pembangunan membengkak. Pasalnya, saat perhitungan awal, saat itu biaya pembangunan untuk 17 lantai sama dengan biaya pembangunan 24 lantai.
Beban biaya operasional lainnya yang meningkat adalah seharusnya pembangunan selesai pada 2015 tetapi hingga 2018 ini belum selesai. Kesulitan lain, beban bunga pinjaman bertambah, termasuk harga biaya produksi yang meningkat tidak diimbangi dengan harga jual unit apartemen.