Bisnis.com, JAKARTA - Rentetan kasus kekerasan dan persekusi terhadap jurnalis menunjukkan adanya ancaman kekerasan nyata bagi jurnalis saat bekerja.
Selain kekerasan fisik langsung, ada juga pola kekerasan baru yaitu persekusi dengan cara doxing atau tracking data pribadi jurnalis, kemudian di-upload di media sosial dengan manambahkan narasi provokatif.
Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengatakan, tindakan sekelompok massa yang mengintimidasi jurnalis saat meliput di ruang-ruang publik, bisa dikategorikan sebagai sensor terhadap produk jurnalistik. Tindakan itu termasuk dalam pelanggaran pidana yang melanggar UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
"Kalau kita perhatikan, sejak aksi massa 212 pada tahun 2016 sampai dengan malam munajat 212, selalu saja ada kekerasan yang dialami jurnalis saat meliput. Ada persekusi yang menimpa jurnalis Metro TV, Tirto.id, CNN Indonesia, dan Detik,” kata Ade, Minggu (3/3/3019).
Menurut Ade, harus ada komitmen dan ketegasan dari pemangku kepentingan terkait untuk mendukung iklim kebebasan pers di Indonesia. Baik itu dari aparat Kepolisian, pimpinan organisasi kemasyarakatan, bahkan dari perusahaan media tempat jurnalis bekerja.
“Terutama dari Ormas, harus ada instruksi langsung dari pemimpinnya, bahwa tidak boleh ada tindak kekerasan terhadap jurnalis saat meliput. Ketegasan itu diperlukan sebagai bentuk dukungan terhadap iklim demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia,” ujar Ade.
Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani menegaskan, setiap usaha yang menghalang-halangi kerja jurnalistik sama saja dengan menciderai demokrasi. Sebagai pilar keempat demokrasi, pers berfungsi untuk mengawasi semua sektor dalam sistem bernegara baik itu eksekutif, yudikatif, maupun legislatif.
“Bagaimana jurnalis bisa melakukan fungsi pengawasan kalau saat meliput selalu mendapat tekanan dari massa? Ini kegelisahan yang dirasakan oleh teman-teman di lapangan. Polisi harus tegas menidak pelaku menggunakan UU Pers,” kata Asnil.
Sementara itu, Sekjen Asosiasi Media Siber Indonesia Wahyu Dhiyatmika menyerukan agar semua jurnalis bersatu untuk memerangi tindak kekerasan ini. Menurutnya, tidak mudah untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kebebasan pers.
“Yang diperlukan adalah kekompakan. Kita bisa belajar dari kasus remisi Susrama, bagaimana kita bersama-sama berjuang memerangi impunitas terhada pembunuh jurnalis. Penyerangan terhadap wartawan adalah penyerangan terhadap demokrasi,” kata Wahyu.
Selain itu, Wahyu juga meminta manajemen redaksi dari perusahaan media untuk menyiapkan protokol keamanan untuk jurnalisnya. Bagaimanapun, jajaran redaksi harus aktif melindungi jurnalisnya yang mengalami kekerasan, baik saat melipun maupun saat produk jurnalistik itu telah terbit.
“Jangan biarkan wartawan berjuang sendirian. Harus didampingi untuk melapor dan menuntaskan kasusnya. Jangan berdamai dengan pelaku karena bisa menjadi impunitas,” tegas Wahyu.
Untuk menggalang dukungan, AJI Jakarta dan LBH Pers meluncurkan petisi untuk mendesak aparat Kepolisian menuntaskan proses hukum terkait kasus kekerasan malam munajat 212. Mengingat, sampai saat ini belum ada satu pun kasus kekerasan jurnalis yang berakhir di meja hijau.